Jiwa yang Memilih Abadi
Jikalau setelah mati tidak ada lagi kehidupan setelahnya, kematian itu hanya mengakhiri segala bentuk entitas keberwujudan dan misi kehiduapan manusia. Lantas apa makna segala kehidupan dengan segala hiruk pikuknya? Kalau saja sebuah kematian berarti akhir dari seluruh hidup manusia, lalu apa perbedaan orang yang menghabiskan segala kekuatannya berkurban untuk membela kebajikan dari mereka yang hidupnya hanya merusak  dan mengacaukan masyarakat?
Hal ini tanpa didasari telah menyadarkan rasa keadilan yang ada di dalam diri manusia dan kegetiran hati. Bahwa  tidak selalu ada orang yang berpikir dan berjuang untuk kebenaran akan menerima imbalan yang tidak sesuai, namun sebaliknya tidak sedikit orang yang sesungguhnya hati dan perilakunya buruk malah memperoleh keberlimpahan materi dan sebab kedudukan yang tinggi dalam hidup mereka.
Seorang arif berkata, bahwa biarlah orang lain tertawa ketika dirimu lahir dari rahim ibu kalian dan memulai kehidupan ini dengan jeritan tangis, namun buatlah mereka menangis sedangkan dirimu tersenyum ketika mengakhiri kehidupan kalian, tatkala Tuhan memberkan khusnul khatimah. Bagaimana dan mengapa mengakhiri hidup dengan suka cita? Karena kematian buaknlah sebuah akhir dari sebuah kehiduapan, melainkan hanya garis transisi.
Lantas bagi mereka yang mau sejenak berpikir dan ketika hidup telah berbuat banyak kebaikan, kematian adalah pintu gerbang untuk memasuki kehidupan baru yang lebih indah dan sejati. Ibarat kita anak sekolah, sebuah kematian sesungguhnya sebuah arwah dari arwah- arwah orang yang senantiasa melakukan kebaikan akan dinaikkan tingkatan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Melupakan Kematian
Karena kematian sudah merupakan kepastian yang tidak terelakkan sekalipun sudah berlindung di benteng yang kokoh, dan merupakan peristiwa yang menakutkan. Maka beberapa orang lebih memilih untuk tidak memikirkannya dan berusaha unutk menghindarinya agar bisa merasakan kebahagiaan yang dilaluinya setiap saat.
Begitulah, kadang mereka sering melucu dan bertingkah bak burung unta yang menyembunyikan kepalanya di dalam lubang tanah sehingga musuh yang ditakuti tidak kelihatan , sehingga bisa jadi hatinya masih merasakan ketakutan yang teramat, sebuah perasaan yang ditekakn agar tidak muncul di permukaan. Â
Hati manusia teralu rapuh dan selalu bergerak dari bahagia menuju kesedihan dalam waktu yang relatif singkat, begitu pula sebaliknya. Fluktuatif memang, ketika sebuah kesedihan melanda, ia berharap agar waktu dipersingkat, sebaliknya, ketika mendapatkan sebuah kebahagian kita ingin waktu melambat atau  bahkan berhenti. Naif memang, tapi itulah manusia dengan segala permintaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H