Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Seberapa Luhur Budi Manusia?

25 Agustus 2018   14:40 Diperbarui: 25 Agustus 2018   14:42 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana sebelum acara di suatu pengajian umum.

Agamawan memandang manusia sebagai mahluk yang membutuhkan Penciptanya. Berdasarkan pandangan ini memandang menusia sebagai manusia yang luhur sekaligus nista, jika manusia hidup tanpa allah, manusia menjadi busuk karena dikuasai kecenderungan cinta diri dan kepentigan yang buta. Akibatnya, masyarakat pun kacau balau. Manusia menjadi mahluk yang kontradiktoris  di dalam dirinya sendiri, dan karena itu dia tidak pernah meraih kepuasaan sempurna.

Dia tak sepenuhnya rasional, tetapi juga tak sepenuhnya irasional. Baik rasio maupun nafsu jalin menjalin secara dialektis. Jadi tanpa Pencipta, manusia betul betul rapuh. Selain hina, menurut agamawan manusia juga mahluk yang luhur. 

Keluhurannya bahkan berasal dari kehinaannya itu. Menurutnya, bahwa manusia mengakui kerapuhannya menunjukkan kebesarannya. Keagungan  manusia terdapat dalam kenyataan bahwa dia mengenali dirinya sebagai sesuatu yang nista.

Sebuah pohon tidak mengenali dirinya sebagai sesuatu  yang nista. Menjadi nista berarti mengenali diri sebagai nista, tetapi menjadi agung berarti mengenali bahwa manusia itu nista.

Manusia  memang tak kunjung lelah berhasrat mencapai kebahagiaan dan hasrat yang tak terpuaskan itu menjadi sumber ketidakbahgiaannya. Agamawan mengatakan teluk tak terbatas itu hanya bisa diisi dengan objek yang tak terbatas dan tak terbatas, yakni Allah sendiri. Dalam mencari kebahagiaan ini pun rapuh manusia menunjukkan keluhurannya, kalau manusia menerima Yang Maha Kuasa.

Kita mengenal ada orang yang taqwa dengan orang yang berlaku aniaya? Yah. Begitulah manusia hidup di tengah masyarakat. Apakah orang yang baik hanya baik dengan Pencipta atau menyapa dengan realitas yang ada? Ataukah adanya keseimbangan diantara keduanya.

Itulah yang menggugah untuk menulis seperti apakah sikap agama yang harus ditampil, agama menurut Cak Nun diibaratkan dengan dapur dimana dia menjadi sesuatu yang tak harus dipamerkan esensi yang paling urgen bagaimana respon kita terhadap berbagai penyimpangan dan hegemoni penguasa.

#MHF

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun