Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Salam Memilih Pemimpin

28 September 2015   11:24 Diperbarui: 3 Desember 2017   06:54 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sistem demokrasi, memang, para pemimpin terpilih yang ngibuli rakyat bisa dihukum konstituen pada pemilu berikutnya. Tapi bukankah itu terlalu lama? Ibarat sebuah pesawat, waktu lima tahun telah cukup membuat negara melenceng sampai jauh. Nah, pemimpin bisa menjadi pilot bisa juga menjadi pembajak. Lho, kok?

Pembajak memang berbeda dengan pilot. Paling tidak terdapat lima perbedaan antara keduanya. Pertama, bila pilot tidak pernah memaksakan keinginannya dalam bepergian, pembajak selalu memaksakan kehendaknya. Walaupun sang pilot sedang ingin menuju Canbera, misalnya, namun karena penumpangnya sedang ingin ke Kualalumpur, maka ia pun mengarahkan pesawat ke Kualalumpur. Para pemimpin yang suka memaksakan keinginannya sesungguhnya ia adalah pembajak. Pemimpin semacam ini akan membuat program yang seakan-akan merupakan aspirasi rakyat, namun sesungguhnya program-program itu hanyalah keinginan kelompok atau partainya saja. Apa yang dipikirkan pemimpin semacam ini jauh dari apa yang ada di benak rakyat. Rakyat kelaparan, mereka menghambur-hamburkan anggaran.

Kedua, bila pilot sangat kompeten dalam mengendalikan pesawat, para pembajak pada umumnya tidak kompeten. Untuk itu, mereka menekan pilot untuk menuruti keinginannya. Pemimpin yang hanya bermodalkan uang, namun tidak memiliki kompetensi, sesungguhnya ia adalah pembajak. Mereka menduduki kursi strategis, namun tidak tahu apa yang harus dilakukan. Betapa malangnya negeri ini, bila diserahkan kepada pemimpin macam ini.

Keadaan negeri ini sesungguhnya telah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Banyak putera terbaik bangsa tidak bisa turut serta mengendalikan arah bangsa karena tidak memungkinkan memasuki dunia politik. Putera terbaik yang kebetulan sebagai PNS, misalnya, haram hukumnya nyambi di dunia politik. Akibatnya partai politik kehabisan kader yang berkualitas. Persyaratan caleg yang dipasang partai politik juga menjadi kendala bagi para putra terbaik negeri untuk menjadi pilot bagi negerinya sendiri. Mana mungkin seorang guru atau dosen memiliki uang milyaran? Mana mungkin seorang PNS atau tentara memiliki sekarung uang? Akibatnya, partai dipadati para pengusaha. Padahal, tak ada lain yang ada di benak kebanyakan pengusaha kecuali untung dan rugi. Kalau sudah dikendalikan oleh kalkulasi untung rugi, maka negara akan merasa rugi bila membantu fakir, miskin, dan anak-anak terlantar. Negara akan selalu mencari untung bila berhadapan dengan rakyatnya. Ini jelas sebuah pembajakan negara oleh sekelompok orang yang belum tahu fungsi didirikannya sebuah negara. Padahal jelas, negara didirikan untuk melindungi rakyat. Negara tidak boleh menjadikan rakyat sebagai objek mencari keuntungan bagi dirinya.

Ketiga, bila pilot selalu taat pada prosedur dan proses menerbangkan pesawat, pembajak tidaklah demikian. Pembajak akan mengabaikan semua prosedur dan menempuh jalan pintas guna mencapai keinginannya dengan cepat. Para pemimpin yang suka menempuh jalan pintas adalah pembajak negara. Sumbangannya pada rakyat belum pernah terlihat, namun dalam urusan gaji dan tunjangan tak mau telat. Tak jarang, mereka merancang program yang mengada-ada agar bisa mengambil uang rakyat. Kalau sudah begitu, apa yang sesungguhnya terjadi? Mereka mengambil jalan pintas agar bisa kaya dengan cepat. Tetesan keringat tak pernah terlihat, yang ada hanya berlomba-lomba main sikat. Tak ayal, negara mengalami sekarat, di tengah pesta pora para pengkhianat.

Keempat, bila pilot tidak suka bekerja dengan pura-pura, pembajak justru menyukainya untuk mengelabuhi para penumpang. Tak jarang, mereka berpura-pura berantem dengan sesama pembajak, namun sekali lagi, itu hanya pura-pura. Para pemimpin yang bekerja dengan penuh pura-pura, sesungguhnya adalah para pembajak negara. Dalam tayangan TV, mereka berantem serius saat bersidang, namun ternyata itu hanya pura-pura. Perkara dianggap selesai dengan selesainya sidang. Begitu di luar yang diomongkan sudah hal lain. Yang dilakukan pun tak ada sangkut pautnya dengan permasalahan bangsa. Mereka sibuk dengan seabrek acara, namun ternyata acaranya tak berkaitan dengan nasib rakyat. Sungguh malang nasib bangsa ini, mereka dipimpin oleh orang-orang sibuk, namun kesibukan itu tak pernah mampu mengubah kehidupan bangsa. Mengapa? Karena kesibukan itu hanyalah pura-pura.

Kelima, pilot dipilih karena kemampuan, sementara pembajak karena kemauan. Syarat terpenting untuk menjadi pembajak adalah karena mau menjadi pembajak, bukan karena mampu. Lihatlah rekruitmen kader-kader partai di negeri ini. Banyak orang berduit diajak masuk partai tertentu. Tentu bukan karena kemampuannya dalam berpolitik, namun lebih karena kemauannya. Kalau sudah demikian, apa bedanya dengan pembajak? Akibatnya, sistem kroni akan tumbuh subur. Sistem kroni mengabaikan kemampuan. Siapapun akan menjadi teman asal memiliki kemauan yang sama. Segala persoalan diukur berdasarkan hukum suka sama suka, bukan berdasarkan kebenaran fakta. Walaupun faktanya salah, namun bila semua pihak sudah suka sama suka, maka fakta yang salah itu disepakati kebenarannya. Dalam hal ini, pernyataan BJ. Habibi di Universitas Paramadina (28/11/08) benar bahwa yang salah dari bangsa ini adalah sistem penjaringan kepemimpinan yang belum bisa menjamin terpilihnya pemimpin yang kompeten dan berintegritas. Negara ini butuh pemimpin yang benar-benar berkualitas dan mampu bukan pemimpin yang asal mau.

Bila negeri ini diserahkan kepada para pembajak, betapa malangnya kita. Dulu rakyat digencet para penjajah, kini dibuat mainan para pembajak. Kita bisa menghentikan aksi mereka, bila kita memilih para pemimpin yang berwatak pilot bukan pemimpin berhati pembajak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun