Mohon tunggu...
harisherianto
harisherianto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudik dan Yaumul Quds

19 September 2009   08:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:42 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi saya yang kelahiran Sumatera, istilah Pulang Kampung lebih akrab daripada istilah Mudik. Keduanya tentu mempunyai makna yang sama. Maksud saya, sama-sama aneh. Kedua istilah itu telah melewati makna aslinya. Mudik atau pulang kampung awalnya diartikan sebagai kembali ke kampung, desa, udik. Istilah ini cocok untuk masyarakat urban. Masyarakat desa yang mencari penghidupan di kota. Namun tidak bagi saya dan keluarga.

Adik saya bekerja pada perkebunan di Indragiri Hulu kawasan pedalaman Riau. Untuk ke kota terdekat, mereka harus menempuh perjalanan setidaknya 3-4 jam melewati perkebunan sawit dengan jalan aspal campur lumpur.   Adik saya yang lain bekerja di Kabupaten Lima Puluh Sumatera Utara yang tentu saja masih belum bisa dikatakan sebagai kota.  Namun ketika lebaran kembali ke medan, mereka tetap memakai istilah pulang kampung. Bukan pulang desa. Padahal Medan jelas jauh lebih bernuansa kota daripada tempat hidup mereka sekarang.

Bagaimanapun istilah itu digunakan, Fenomena mudik ini sangat unik. Fenomana pergerakan kolosal kenderaan yang hilir mudik melalui daratan, lautan, dan udara Indonesia. Fenomena ini setahu saya khas Indonesia. Budaya asli indonesia. Saya tidak tahu, apakah Pak Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kita telah mendaftarkan Mudik sebagai Budaya Indonesia atau belum. Moga-moga tak ada negara tetangga baik jauh maupun dekat yang ngaku-ngaku Mudik sebagai budaya mereka.

Lalu apa yang dicari para pemudik ini? Saya dan anda tentu mempunyai jawaban berbeda. Jawaban Subjektif. Tapi setidaknya saya dan anda punya satu kesamaan. Sama-sama mencari yang sehari-hari dalam kehidupan kita tidak ditemukan.

Berapalamapun seorang Indonesia menetap disuatu tempat, dia selalu mengaitkannya dengan daerah asalnya. Ada sesuatu yang lebih primordial, asasi, bermakna, di tempat asalnya. Sesuatu itu lebih berharga jika hampir seluruh keluarganya melakukan hal yang sama. Mudik bersama.

Ini tak terjadi di negara lain, setidaknya setahu saya. Justru ketika ramadhan, apalagi menjelang akhir ramadhan, frekuensi bepergian mereka jadi menurun. Ramadhan dan Idul Fitri mereka lakukan di satu tempat. Tempat menetap mereka sekarang.

Ketika kita sibuk hilir mudik menyambut lebaran, dari Iran, Libanon, Inggris, dan kota-kota lainnya terdengar para demonstran turun ke jalan memperingati Yaumul Quds, Hari Palestina. Suatu demonstrasi yang sejak dulu membuat ketakutan rezim Zionist Imperialis Israel yang karena itu mereka selalu berupaya menyembunyikannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun