Istilah Sandwich Generation pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller pada tahun 1981. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang-orang di usia paruh baya yang terjepit dalam memenuhi kebutuhan anak-anak mereka dan juga orang tuanya dari mulai kebutuhan finansial sehari-hari hingga Kesehatan secara bersamaan.
Sandwich Generation dialami oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia karena berbagai faktor. Salah satu yang utama adalah minimnya pengetahuan mengenai perencanaan keuangan serta produk investasi yang tepat untuk masa depan sesuai kebutuhan. Selain itu, sudah menjadi tradisi dan hal yang biasa di Indonesia ketika seseorang membiayai keluarga dan orang tua secara bersamaan. Kondisi ini terus berulang di masyarakat kita dan seolah menjadi yang tidak putus-putus.
Generasi ini terbentuk karena kegagalan mengelola keuangan serta pandangan bahwa anak sebagai "investasi". Data dari OJK pada tahun 2016 mencatat tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia hanya sebesar 29,7%, artinya dari 100 orang di Indonesia hanya 30 orang yang memiliki pemahaman dan keterampilan memadai mengenai layanan keuangan.
Biro Pusat Statistik (BPS) telah mengeluarkan hasil Sensus Penduduk 2020. Dari data ini mengegaskan lebih dari separuh penduduk Indonesia atau 64,69% adalah generasi millennial, generasi Z, dan generasi post Z yang menjadi tumpuan masa depan Indonesia. Komposisi kelompok produktif dan tidak produktif ini mempertegas munculnya sandwich generation dalam masyarakat Indonesia. Sandwich generation dituntut memiliki literasi keuangan yang baik untuk mengatur keuangan keluarganya, baik untuk kepentingan keluarga inti maupun orang tua.
Sandiwich generation di Indonesia kemungkinan memiliki dampak yang berbeda dibandingkan negara berkembang lainnya yang bisa tetap senang walaupun dihimpit oleh dua beban keuangan. Hal ini memungkinkan bagi sebagian masyarakat di Indonesia untuk hidup dan menghidupi tidak hanya keluarga inti tetapi juga keluarga tambahan. Semakin luas keluarga tambahan yang dihidupi, maka semakin besar pula beban yang harus dipikulnya. Apalagi ketika kekuatan finansial orang tersebut berada di bawah standar hidup daerah.
Terkadang, orang tua dapat menjadi sumber tekanan bagi sandwich generation. Orang tua merupakan sosok yang berjasa dan memiliki pengaruh besar bagi Sebagian besar anak. Anak yang menolak atau tidak setuju makan akan dianggap tidak menghormati orang tua. Selain itu, terdapat juga anggapan bahwa anak akan mendapatkan karma. Dalam hubungan antara orang tua dan anak selalu ada peran "pemberi" dan "penerima."
Saat kecil, anak lah yang memiliki peran penerima. Semua kebutuhan anak akan dipenuhi oleh orang tua. Oleh karena itu, ketika anak sudah dewasa dan mandiri secara finansial, kedua peran tersebut akan berbalik. Anak akan berperan menjadi "pemberi" karena merasa memiliki kewajiban untuk "balas budi" atas jasa orang tua selama mendidik dan membesarkannya.
Memutus rantai sandwich generation memang sulit, tetapi tidak mustahil. Butuh upaya yang besar untuk mewujudkannya. Bagi yang terjebak di sandwich generation, masih ada harapan untuk terbebas. Namun, memang lebih sulit untuk keluar dibanding dengan menghindari jeratan sandwich generation.Â
Sebagai upaya memutus mata rantai sandwich generation, perlu dibangun literasi keuangan, termasuk kesadaran berinvestasi untuk dana hari tua. Berbekal hidup yang "tidak berlebihan", kesadaran berinvestasi, dan pengetahuan investasi yang memadai akan membuat sandwich generation di masa tuanya mempunyai hidup layak dan mandiri, serta tidak menjadikan anak-anaknya sebagai sandwich generation baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H