Di negeri seberang
Kau tabur cahaya
Diiringi alunan seruling
Mendekat mencoba merapat
Dua hati yang mulai berdansa
Langkah demi langkah sajikan gerakan
Mencoba lebih mendalam
Semua hilang ingatan
Pesta telah usai
Disini bukan tempatnya
Cacian sejarah yang kelam
Membuat binasa
Budaya borjuis (kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas) telah berkembang dan merubah semua tatanan budaya masyarakat yang usang, semua mengikutinya dengan sendirinya maupun dengan paksaan. Budaya konsumsi, budaya party, gaya hidup, gaya pergaulan merupakan settingan dari penguasa, yaitu borjuis. Sampai hal yang paling remeh-temeh mengenai yaitu “cinta”. Borjuis sangat berkepentingan dengan “cinta” sebagai objek komoditas penghasil capital dan menjadikan surplus value. Kebudayaan bersifat politis karena ia mengekspresikan relasi sosial kuasa kelas dengan cara menaturalisasikan tatanan sosial sebagai suatu “fakta” niscaya, sehingga mengaburkan relasi eksploitasi di dalamnya. Jadi kebudayaan sangat ideologis.
Pertanyaannya mengapa masyarakat tidak mengerti akanhal itu, akan tetapi masyarakat tambah bersemangat atas budaya borjuis tersebut. Hal ini lah yang disebut Marx dengan alienasi. Betapa tidak, masyarakat memuja budaya borjuis, karena budaya borjuis meyediakan kesenangan. Borjuis menyediakan ruang untuk seluruh masyarakat, dari gaya busana masa kini untuk membuat percaya diri atau guna menarik pasangan, sampai peralatan kecantikan modern guna membuat para perempuan menjadi perempuan yang ideal di mata budaya borjuis.
“Cinta” pun sabagai komoditas, “cinta” dideskontruksi ulang oleh borjuis. “Cinta” menjadi satu komoditas kaum borjuis dengan mengekploitasi kata “cinta” dengan tujuan menghasilkan surplus value. Munculnya industri musik menjajakan kata “cinta” di dalam mode produksi kapitalisme, telah memberikan satu kesadaran akan hegemoni budaya borjuis. Lagu-lagu bertemakan cinta laris manis dan telah menghipnotis masyarakat. Kata “cinta” sebagai alat untuk menidurkan masyarakat dari realitas yang menindas. Kebudayaan borjuis juga, menghendaki “cinta” sebagai ajang gosip oleh masyarakat dan infotaiment komersil. Masyarakat dalam hidupnya dipaksa untuk membicarakan “cinta” sehingga masyarakat lupa akan hidup yang berharga, yaitu hidup tanpa penindasan.Misalnya curhat, masyarakat begitu antusias membicarakan cinta dengan melankolis-nya. Aktivitas curhat, telah menyita waktu berharga masyarakat, dan menenggelamkannya dalam jerit tangis dan gelak tawa. Masyarakat menikmati “cinta” yang disetting borjuis, dan jika “cinta” tak se-ideal buatan borjuis, maka “cinta” tidak akan laku bahkan dipandang “cinta” gila (a-rasional). “Cinta” yang anti “cintanya” borjuis, akan dibakar dengan fitnah-fitnah.
Dalam budaya borjuis, “cinta” sebagai legalitas free sex. Dalam perkembangan industri-industri besar kapitalis, telah menciptakan urbanisasi proletar yang besar. Berkaitan akumulasi dan surplus value, borjuis menciptakan satu budaya baru, yang dulunya “tabu” sekarang menjadi hal yang maklum, yaitu munculnya lokalisasi prostitusi.Proletar dengan kerja menghasilkan komoditas-komoditas, dan untuk tetap bertahan bekerja dan upah murah, sehingga borjuis mengikat proletar dengan dibuatlah ruang budaya free sex. Budaya free sex berkembang bukan hanya kalangan pekerja namun kalangan anak muda, pelajar, dan mahasiswa pun sudah terhegemoni oleh budaya borjuis. “Cinta” sebagai kepentingan yang eksploitatif, cinta telah benar-benar menjadi budaya borjuis, sebagai alat untuk meng-hilang-kan kesadaran akan melawan dari realitas yang menindas.
Menurut Trotsky, setiap kelas yang berkuasa pasti menciptakan budayanya sendiri, dan karenanya juga menciptakan seni mereka sendiri. Sejarah telah menyaksikan adanya budaya-budaya perbudakan dari Timur dan keantikan budaya klasik, budaya feodal Eropa zaman pertengahan dan budaya borjuis yang saat ini memerintah dunia. Berangkat dari sinilah terdapat pemikiran bahwa kaum proletar juga harus menciptakan budaya dan seninya sendiri. Dan juga telah diterangkan oleh Marx dan Engel bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas.
Masyarakat menjadi sekumpulan komoditas yang terasing akan dirinya dan tidak sadar akan realitas yang menindas. Budaya-budaya borjuis sudah mengakar pada jantung-jantung masyarakat. Bunga “cinta” telah berubah menjadi racun masyarakat, “cinta” adalah candu, “cinta” adalah keluh kesah manusia yang terasing. Menyinkirkan duri-duri “cinta”, tidak harus melukai “cinta” tersebut. Dengan menyingkirkan duri-duri itu, maka “cinta” akan terbebas, dan menjadi “cinta” yang sadar dan berlawan.
Budaya borjuis, mau tidak mau harus di-revolusi-kan, diganti dengan budaya baru, budaya yang mulai tumbuh dan berkembang yaitu budaya proletar. Budaya proletar, menempatkan budaya sebagai mestinya. Budaya proletar memberikan suatu cara pandang baru. Ke-budaya-an yang setara dan revolusioner, mengembalikan makna “cinta” yang membebaskan manusia dari eksploitatif budaya borjuis. Penghargaan besar bagi budaya proletar, yaitu budaya yang menempatkan perempuan pada posisi yang setara sebagai “subjek” yang progresif. Begitu pula budaya proletar akan mendenkonstruksi makna “cinta” yang kormersil, eksploitatif, akumulatif-surplus value menjadi “cinta” yang sadar akan dirinya dan realitas. “Cinta” sebagai relasi yang setara, revolusioner dalam suatu peradaban yang maju, tanpa ada penindas dan ditindas. “Cinta” tak lagi berkelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H