Mohon tunggu...
M Hariri
M Hariri Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat Filsafat dan Pemerhati Demokrasi

Knowledge is power

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pasca Hoaks Ratna Sarumpaet

30 November 2018   22:11 Diperbarui: 3 Desember 2018   18:28 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Iman Fadhillah (2016), narasi merupakan manifestasi dari ideologi yang dibentuk dan disesuaikan dengan situasi. Sedangkan narasi yang di dalamnya terdapat unsur-unsur manipulatif disebut kontra narasi.

Kata manipulatif dalam sebuah narasi tandanya ada penambahan atau pengurangan, sehingga tidak sesuai fakta lagi. Hoaks juga demikian. Maka kesimpulannya, tipe-tipe hoaks itu bermacam-macam dan luas. Sehingga tidak benar dan tepat hanya kritis saat ada hoaks seperti kasus Ratna Sarumapet. Kita perlu bersikap waspada setiap waktu.

Politik yang identik dengan permainan perlu dikritisi juga, seperti kita mengkritisi kasus hoaks. Sebab dalam politiklah narasi-narasi sering keluar. Tidakkah kita curiga sesekali, ketika politisi menggoreng kasus hoaks Ratna sebenarnya mereka juga menyebar narasi hoaks?

Hoaks Sebagai Kritik

Jangan biarkan hoaks yang lalu berlalu. Kita harus menancapkan masa lalu yang sinis sebagai peringatan, supaya terhindar dari pengaruh hoaks atau narasi-narasi manipulatif. Caranya dengan menjadikan hoaks sebagai kritik pada kita yang mudah merima sesuatu yang datang.

Hoaks sebenarnya bukan hanya berita bohong, melainkan kritik pada kita. Tapi hoaks yang bermakna kritik, jika adanya hoaks membuat kita semua lebih hati-hati, kritis dan tidak mudah mencerna sesuatu, sekalipun dari orang-orang besar.

Alasan kenapa hoaks bisa bermakna kritik, karena pengaruh hoaks yang begitu luas sudah menunjukkan kelemahan kita dalam berpikir. Selalu bergantung pada media sebagai sumber informasi. Hoaks Ratna yang terkenal beberapa bulan yang lalu, yang melibatkan gerakan politisi, hukum dan pemuka agama, karena kita semua tidak serius menjadi seseorang yang bisa memilah benar dan salah.

Hoaks bukan hanya tentang kebohongan, melainkan juga kritik. Martin Heidegger bahkan mengistilahkan unconcealment: kebenaran yang tidak selalu tampak, kadang kebenaran harus dicari dalam ketersembunyian. Artinya, kebenaran bukan hanya sesuatu yang diceritakan atau diucapkan apa adanya sesuai fakta, namun juga berada dalam sesuatu yang tidak jelas atau dalam kebohongan.

Kritik dalam peristiwa hoaks Ratna Sarumpaet sebenarnya berisi tentang kebenaran yang tersembunyi (unconcealment). Jika kita kritisi, momen hoaks itu mengungkapkan kebenaran atas gejala hilangnya akal kritis kita saat ini. Namun, kebenaran bersembunyi dalam kebohongan, dan kita hanya melihat wajah kebohongan saja. Akhirnya, peristiwa hoaks membuat kita sulit membangun sikap kritis. Karena kita tidak bisa mengenali "kritik" dalam peristiwa haoks. Kita hanya mengenal hoaks sebagai peristiwa kebohongan dan harus dihina.

Untuk itulah, semoga pasca kebohongan (hoaks) Ratna Sarumpaet bisa membuat kita lebih kritis lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun