Kasus hoaks Ratna Sarumpaet akhirnya sudah benar-benar berlalu dari peredaran publik. Padahal, di awal menjadi tren di berbagai media, yang melibatkan para politisi, ahli hukum dengan segala argumennya masing-masing. Tidak ada orang yang tidak mencemooh. Semua bereaksi tidak suka.
Kasus yang juga telah membuat publik kritis, dan ada pula yang hanya asal ikut geram. Hoaks kemudian dinilai tidak beradap, pencitraan diri, dan yang utama publik tahu bahwa hoaks adalah tindakan yang merugikan banyak orang. Karena hoaks dibuat dengan tujuan-tujuan tertentu. Wajah hoaks sebagai kebohongan akhirnya benar-benar disadari publik.
Karena hoaks melibatkan banyak politisi, beredar berbagai opini yang menilai bahwa politik kita hari ini kurang santun. Para oposisi malah menjadikan keadaan makin rumit dan panas, dan tentu menguntungkan pihak kubunya. Pandangan baru terhadap teknologi juga mulai kritis. Publik akhirnya menyadari bahwa media canggih sekarang terkadang lebih merugikan daripada menguntungkan. Untungnya mereka tidak benar-benar putus hubungan dengan teknologi.
Tapi setelah hoaks Ratna berlalu, seolah kita juga harus berlalu dari nalar kritis, misalnya kurang antisipasi, mengatur ulang aturan pemberitaan, bahkan di YouTobe, facebook, dan WhatsApp banyak sekali framming buatan yang juga berpotensi hoaks. Hoaks mempunyai potensi mempengaruhi orang-orang dan mengubah pikiran seseorang. Narasi-narasi kontra yang tersebar lewat media berbasis teknologi akan mudah juga tersebar luas.
Sedangkan respons atas kasus hoaks Ratna Sarumpaet, sepertinya kita lebih geram dan kritis pada hoaks yang terkenal, muncul di TV, dan jadi pembicaraan umum, daripada sebaliknya. Padahal, hoaks setiap hari ada di berbagai sosial media, dicerna tanpa kita sadari. Sebab, menurut analisis J.A Barnes dalam A Pack of Lies, "kebohongan adalah salah satu potensi alamiah manusia yang perlu diwaspadai".
Hoaks dan Kontra Narasi
Rata-rata hoaks dipahami sebagai berita bohong yang muncul di media-media massa. Sajian berita yang tidak sesuai fakta adalah bohong alias hoaks. Itu adalah pengertian hoaks paling umum. Namun, bagaimana dengan argumen seorang politisi di media, misalnya, ketika mereka berkampanye? Atau bagaimana dengan argumen para oposisi ketika menanggapi hoaks seorang Ratna? Harus disesali jika argumen mereka ternyata berisi kebohongan yang dibuat untuk tujuan kubunya.
Harus dicatat bahwa hoaks bukan hanya dalam pemberitaan, melainkan luas sekali. Jangan terjebak pada pengertian hoaks di KBBI. Karena KBBI hanya memberikan pengertian dasarnya, yaitu hoaks sebagai berita fiktif.
Mudahnya memahami hoaks dalam skala luas, perlu memahami narasi. Narasi para politisi saat berdebat dengan lawannya, atau mengomentari hoaks Ratna, bisa dikatakan hoaks apabila narasi mereka kontra dengan kenyataan. Sebab, narasi buatan bisa memiliki tujuan untuk mencitrakan kubunya sendiri, dan mengandung unsur-unsur manipulatif. Apalagi disangkut-pautkan dengan Pilpres 2019 nanti. Namun, kontra narasi semacam itu tidak disadari oleh kita sebagai hoaks. Sebab, hoaks (kontra narasi) itu juga mengomentari hoaks lainnya (Ratna Sarumpaet). Ketika hoaks vs hoaks berlawanan, maka sulit diidentifikasi kebenaran dan kesalahannya.
Hoaks selalu tumpang tindih dalam kehidupan sehari-hari kita. Kebohongan tidak hanya berupa pemberitaan yang disajikan oleh media-media, melainkan seluruh tatanan hidup ini juga terdapat kebohongan. Maka, tuntutan kita sangat besar. Setidaknya kita harus kritis dan bisa memilih mana yang benar dan tidak, mana yang narasi dan kontra narasi.
Artinya, sikap kritis tidak hanya dibangun saat ada hoaks terkenal seperti drama Ratna Sarumpaet yang jadi pembicaraan nasional, tapi setiap saat sikap kritis harus selalu dijaga dan diasah. Apalagi menghadapi narasi-narasi para politisi di berbagai stasiun TV yang sulit diidentifikasi kebenarannya.