(jogjakarta pagi itu)
ketika embun masih membasahi hijaunya daun, tanah masih basah oleh kedinginan yang semalam, burung sedang senang bernyanyi di pucuk pohon-pohon. mentari membawa kehangatan kepada jiwa yang selalu beku. ku tatap awan putih tipis dikejauhan timur sana, seberkas kerinduan seakan mulai tercipta, kerinduan kepada kampung halaman yang lama ku tinggalkan.
seorang kawan datang tawarkan rokok dan
segelas kopi untuk berdua. ku bakar dan kuhisap dalam asap kehidupan ini, asap yang perlahan akan membunuhku.
terhanyut seberapa waktu akan ingin pulang tak menyadarkan aku akan hadirmu yang menyapa lembut.
kau uluk salam dan berdiri di depanku, terus berdiri di situ.
maaf jika tak berani kutatap matamu.
sebaiknya kau bicara saja dengan kawanku, sebab ku tak sanggup mengingat satu katapun bila kau ada disini, lain halnya bila aku sedang mabuk. justru akan sebaliknya, kau yang akan diam.
tapi sekarang itu tak mungkin. karna telah lama kutinggalkan barang-barang haram itu.
hidupku telah terkoyak oleh masa lalu itu. begitu juga dengan bunda yang sangat menyayangi aku.
bisakah kau seperti bundaku ?
" aku tak bisa, maafkan aku." kembali ku ingat kalimatmu dulu itu.
aku seperti tak percaya rembulan ada dimalam itu. jadilah aku seorang lelaki yang tak mau lagi memasuki duniamu.
maka
biarkan aku menikmati mentari pagi ini.
dan
biarkan aku percaya jika matahari itu ada dipagi indah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H