Membaca buku educated seperti pengalaman menaiki tangga menuju puncak. Layaknya scaffolding dalam dunia pengajaran, setiap bab menyuguhkan kesan bertingkat yang membantu pembaca dalam mempersiapkan diri memahami bab selanjutnya. Tingkatan itu tercermin dari alur kehidupan penulis (red: Tara Westover) yang berubah bukan hanya ditandai dengan pencantuman usia tapi juga disuguhkan dalam tata bahasa dan kalimat-kalimat yang merefleksikan perkembangan psikologi penulis. Penggambaran dari perkembangan psikologis yang begitu hidup ini yang akan mendorong pembaca merefleksikan buku ini terhadap pengetahuan dan kehidupannya.
Refleksi terhadap buku ini tidak akan terlepas dari dua hal yaitu keluarga penulis dan pendidikan penulis. Dua hal tersebut adalah hal yang setiap orang miliki dan cenderung mudah untuk melihat kedalam diri sendiri sebagai bahan refleksi.
Buku educated dibuka dengan kehidupan penulis dengan keluarganya di perbukitan idaho. Penggambaran yang ceria dan jenaka menjadi kekuatan awal dibuku ini. akan tetapi kejenakaan ini berubah ketika pengenalan beberapa tokoh yang sedikit demi sedikit diungkap oleh penulis, seketika kejenakaan itu beralih menjadi rasa penasaran akan hubungan antar tokoh dalam perspektif penulis. Apalagi seiring dengan perjalanan waktu hubungan antar tokoh saling meruncing hingga menjadi perseturuan. Setidaknya ada dua hubungan yang sangat menarik menjadi perhatian penulis.
Hubungan ayah dan ibu penulis
Ayah dan ibu penulis mempunyai fundamental yang sangat kentara, bukan dalam hal latar belakang dua keluarga besar yang justru cenderung sama (keluarga berpendidikan formal), tetapi celah itu terdapat pada perbedaan cara pandang terhadap pemerintah sebagai ekses dari pemahaman agama yang berbeda. Namun, Ditengah perbedaan, mereka justru tetap bersama sampai akhir dan bahkan menjadi pasangan ‘tak terkalahkan’ bagi anak-anaknya sendiri. Kekompakan pasangan suami istri ini tidak berjalan sedari awal pernikahan, tetapi mengalami proses layaknya evolusi yang berubah secara bertahap. Kesabaranlah yang menjadi pembeda karena menjadi kunci dari suatu perubahan. Kesabaran istri dalam menghadapi suami yang senantiasa tak terkalahkan dalam berprinsip dan bersikap (walaupun kemudian ditaksir mengalami bipolar) menjadi kunci utama. Andai sang istri tidak bersabar ketika terjadi perdebatan terkait pendidikan anak-anaknya berupa homeschool, atau andai sang istri menunjukkan penolakan yang berlebihan terkait aktivitas kebidanan tak berizin dan medis herbal yang dipaksakan kepadanya, atau bahkan andai sang istri tidak mengikuti setiap arahan persekusi yang ditujukan kepada penulis. Tentu mereka akan sesegera mungkin bercerai. Suatu hal yang sangat lumrah untuk warga Amerika. Mempertahankan pernikahan memang bukan perkara kecil, itu akan tetap menjadi sesuatu hal yang besar apabila diperjuangkan. Perjuangan dalam mempertahankan biduk rumah tangga agar tetap langgeng memang bersifat kasuistik. Akan tetapi, dalam hubungan rumah tangga yang langgeng, pada akhirnya selalu menyisakan seseorang yang mengalah, entah itu suami ataupun istri. Karena tidak mungkin dua-duanya memaksakan kehendak, dan memenangkan ego masing-masing. Sungguh, kemenangan dalam rumah tangga adalah berhasil mengemban amanah yang dipikul bersama dan anak-anak adalah manifestasinya.
Hubungan kakak-beradik.
Pada awal buku, tidak diperkirakan hubungan kakak-beradik yang bermula baik-baik saja bahkan cenderung saling peduli dan melindungi berubah menjadi layaknya istilah ‘perang saudara’. Kemudian membagi 7 orang saudara menjadi dua kubu yang saling berhadapan. Sayangnya tak ada juru damai dalam konfrontasi ini, orang tua yang senantiasa diharapkan menjadi penengah dan pemersatu justru menjadi bagian dari salah satu kubu yang berseberangan. Tak ayal hubungan perselisihan kakak-beradik ini menjadi sangat rumit. Orang tua menempatkan diri pada posisi yang keliru dan tidak bijak dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh anak-anaknya. Bila menengok pada masa lalu yang dikisahkan oleh penulis. Perbedaan dan perselisihan yang muncul pada anak-anak sesungguhnya berawal dari berbagai keputusan dan perlakukan orang tua sendiri. Mungkin ada trauma yang dimiliki atas perlakukan kasar baik itu secara psikis maupun fisik, mungkin juga ada pemahaman yang berbeda sebagai antitesis dari doktrinisasi yang gagal, dan mungkin juga ada pengaruh luar yang tak terbendung benteng pemahaman keluarga. Pada akhirnya konflik kakak-beradik dalam buku educated tidak menghasilkan pemenang, masing-masing kubu berdiri pada posisinya dan tidak memenangkan apapun. Hanya keretakan keluarga yang tercipta akibat manajemen konflik yang buruk.
Pendidikan adalah tema besar yang diangkat dalam buku educated. Buku ini mengisahkan perjalanan penulis yang tanpa pendidikan formal di jenjang sekolah dasar dan menengah tapi kemudian bisa diterima di jenjang pendidikan tinggi hingga lulus dari program doktoral di Cambridge University. Sungguh pengalaman pendidikan yang kontras di era modern seperti ini, terlebih penulis berada di Amerika Serikat, sebuah negara maju, adidaya dan digdaya di mata dunia untuk setiap aspek yang bisa di tilik. Mungkin hal ini yang menjadi istimewa sehingga memberikan nilai plus untuk buku yang diberikan nama yang sangat lekat dengan kata pendidikan itu sendiri. Terdidik, itulah arti harfiah untuk judul buku ini sebuah kata pasif yang menjelaskan bahwa penulis mengalami berbagai macam peristiwa atau pengalaman sehingga ia menjadi terdidik. Bermacam Peristiwa atau pengalaman inii yang sesungguhnya menjadi poin utama penulis, bukan hanya peristiwa yang dialami penulis di ruang-ruang kelas tapi merupakan setiap peristiwa yang dialami di masa lalunya hingga menjadikan penulis menjadi dirinya saat ini. Setidaknya terdapat dua babak peristiwa yang erat dengan perjalanan pendidikan penulis, pertama adalah ketika homeschool dan kedua ketika di universitas.
Pendidikan nonformal (homeschooling)
Homeschooling atau sekolah di rumah bukanlah suatu hal yang baru, bahkan ini telah bersanding dengan arus utama pendidikan (red: pendidikan formal) sebagai salah satu alternatif pendidikan untuk anak-anak di jenjang usia dasar dan menengah. Ada banyak faktor yang menjadi alasan orang tua memilih homeschooling sebagai pendidikan anaknya. Entah itu, faktor internal orang tua seperti keyakinan dan pemahaman tentang pendidikan yang dianggap tepat maupun faktor eksternal seperti ketidakpercayaan terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah. Dalam buku educated, penulis mengalami pendidikan homeschooling karena orang tuanya tidak percaya terhadap pemerintah untuk segala aspek termasuk pendidikan. Sikap orang tuanya sangat kuat dalam menghindari segala hal yang berhubungan dengan pemerintah terutama ayahnya sebagai motor ketidakpercayaan tersebut. Kemandirian demikian gaungnya. Komitmen tersebut ternyata hanya berada dalam tataran konsepsi saja. Jangan bayangkan pendidikan yang terencana, teratur, apalagi terukur. Dalam pelaksanaannya orang tua cenderung acuh tak acuh dalam mendidik anak-anaknya di dalam rumah. Hanya ibunya yang pada tahun-tahun awal masa remaja penulis dengan segala keterbatasan, mengajar berhitung dan membaca untuk putra putrinya. Selebihnya penulis dan kakak-kakaknya hanya dilibatkan dalam kegiatan rutinitas orang tuanya seperti mencari besi di tempat rongsokan atau membuat ramuan herbal di dapur rumah. Dalam pendidikan secara luas, sejatinya mereka pun belajar dan sedang dididik di tempat-tempat tersebut secara kontekstual dan aplikatif. Namun pada titik tertentu mungkin ada kejenuhan yang dirasakan oleh anak-anaknya. Kondisi ini yang mungkin menjadi titik tolak penulis dan beberapa orang kakaknya untuk keluar dari rumah dan ingin mencoba menempuh pendidikan di sekolah formal.
Pendidikan formal (school)
Ada kepongahan yang diumbar oleh ayah penulis karena sebagian anak-anaknya dapat diterima di universitas melalui tes tanpa pernah menyelesaikan pendidikan formal sebelumnya. Sungguh kepongahan yang tidak berdasar. Padahal tidak ada sedikitpun rencana yang disusun dari orangtuanya untuk bisa memasukkan anak-anaknya ke Universitas. Hanya berasal dari dalam diri anak-anak, motivasi terkuat untuk bisa menempuh pendidikan di universitas. Kondisi keluarga yang tidak kondusif yang menjadi latar belakang munculnya motivasi yang sangat kuat untuk keluar dari ‘rumah’. Dan itu berhasil. Penulis belajar secara otodidak untuk setiap materi yang diujikan dalam ujian masuk Universitas. Dan nyatanya, 16 tahun di rumah tanpa pendidikan formal, ia bisa diterima di Universitas yang penulis inginkan. Selebihnya adalah perjuangan penulis yang luar biasa dalam mengatasi ketertinggalan dalam cara belajar di dalam kelas maupun mengambil berbagai kesempatan dan menanggalkan berbagai kendala dalam rangka melanggengkan jalan pendidikan tinggi yang sedang ditempuh. Doktoral adalah capaian tertinggi yang penulis bubuhi. ia ‘menaklukkan’ program magister dan lalu doktoral universitas cambridge dengan berbekal pendidikan homeschool di periode pendidikan sebelumnya. Emas murni, begitu profesornya menyanjung penulis. layaknya emas ia akan tetap bersinar dimanapun berada. Sekalipun jika dengan pencahayaan yang minim, emas tetaplah emas tuturnya.
Dalam euforia pencapain titel doktoral, penulis pada akhirnya tetap mencurahkan perhatian utamanya pada aspek keluarga. Dan buku memoar ini menjadi buktinya. Begitulah keluarga dengan sihirnya. Layaknya bepergian atau merantau, berawal dari rumah dan akan selalu kembali ke rumah. Keluarga dan pendidikan walaupun adalah tema yang berbeda, tapi sangat bisa disadari bahwa kedua hal tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya. “Tidak terpisahkan”, ujar penulis dalam sebuah wawancara di media ternama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H