Slogan Back to Nature, mulai menggema di Indonesia khususnya bidang medicine atau pengobatan sekitar tahun 90an. Slogan ini bertujuan menghimbau bersama-sama memanfaatkan potensi alam yang sudah ada dalam dunia pengobatan, kosmetik, atau mungkin sampai juga menginspirasi design rumah yang akrab dengan alam.
Negara kita, Indonesia sangat kaya akan bahan obat-obatan dan sudah dari turun-temurun menggunakan bahan alam seperti rempah-rempah ; lada, pala, cengkeh, disamping tentunya berbagai(ratusan) macam herb medicine ; kumis kucing, mahoni, mengkudu, saga, belimbing, asam jawa, cabe jawa, dan seterusnya. Hampir semua jenis penyakit diobati dengan ramuan jamu yang disediakan dengan cara sederhana seperti diseduh (diminum dengan air hangat), dibobokkan, atau dihirupkan aromanya.
Slogan ini justru bukan dimulai dari negara kita (atau setidaknya sekitar Indonesia di Asia) yang merupakan penghasil tumbuhan obat, tetapi justru dari negara-negara berteknology maju seperti Germany, Swiss, Amerika dan lainnya. Timbul pertanyaan mengapa ? Apakah mereka sengaja mengecoh masyarakat timur (baca negara asia) yang sebelumnya juga turut berkilblat dengan kemajuan mereka selama ini mengembangkan obat sintesis/ instrument canggih dalam melakukan diagnosis maupun mengobati penyakit. Bisa jadi iya, tetapi ini sudah terjadi dan tidak penting lagi. Sekarang bagaimana kita (indonesia) kembali berfocus pada pelayanan kesehatan yang bertumpu pada penggunaan obat alam (back to nature).
Filosophy pengobatan modern (dengan alat-alat, obat sintesis) adalah meniru strukture kimia zat khasiat yang terdapat dalam tanaman obat, kemudian disajikan dalam bentuk yang praktis, dengan pertimbangan berbagai aspek seperti bio availability, stability obat, metabolisme obat yang terukur dalam tubuh ( farmakokinetik), penetapan dosis, dan seterusnya yang kemudian disebut data klinis. Begitu juga dengan perkembangan peralatan yang canggih, dari mulai alat suntik, rongent, alat pemindai ; CT Scan, Endoscopy, dan sebagainya. Alat-alat berfungsi sebagai alat bantu untuk mengamati obyek/organ yang akan diobati atau proses yang diamati perkembangannya dalam pengobatan. Dengan prinsip tujuan bahwa semua yang terjadi dalam tubuh bisa dimonitoring.
Terlihat sangat berbeda jauh apa peralatan yang digunakan dalam pengobatan modern dibandingkan pengobatan alamiah (nature), dan tentunya juga strukture kimia sintetis yang kadang sudah mengalami dirivatisasi dari strukture aslinya. Perkembangan strukture kimia inilah yang seringkali menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.Sebagai contoh flavonoid, merupakan  zat khasiat curcumin (dari Curcuma domestica atau kunyit). Untuk mendapatkan efek antibiotika yang lebih kuat bisa saja dimodifikasi srukturnya dengan suatu penambahan gugus hidroksil misalnya ( OH), tetapi tentu tubuh akan meresponse berbeda jika yang diterima adalah curcumin alamiah. Inilah yang kemudian menimbulkan efek samping baru dari suatu obat sintetik. Semakin banyak modifikasi maka semakin banyak perubahan dari sifat aslinya.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk manganjurkan kita menggunakan pengobatan alamiah (nature) mutlak, tetapi sebagai suatu anjuran bahwa pengobatan alamiah lebih diutamakan selama bisa mengatasi kebutuhan yang diperlukan bagi suatu pengobatan, sekaligus dengan pertimbangan biaya.
Jika kita mulai mengembangkan pengobatan berbasis pada back to nature, maka semua perangkat pendukung harus diupayakan mendukung penegakan mulai dari diagnosa, pharmacoteraphy,monitoring pada tindakan medis. Seperti yang sudah dilakukan di negara Cina dan India.
Semoga dapat menambah wacana kita,
salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H