Mohon tunggu...
Indrati Harimurti
Indrati Harimurti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mak ne Si Nang, isaku iki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kakek Pemulung Tua yang Malu Mengemis

20 Oktober 2011   09:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:43 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_136832" align="aligncenter" width="448" caption="Mengumpulkan hasil memulung sampah"][/caption]

Usianya sekitar enam puluh tahunan. Dengan baju kumal yang melekat dibadannya. Gembolan (bungkusan) kain dan kayu sebagai alat pemikul gembolan tidak pernah lepas dari genggamannya. Kakek ini hanyalah seorang tunawisma yang sehari-hari mencari sampah kering. Dan bukan mengemis di jalan.

Berjalan setiap pagi dari tempat peraduan menuju ke tempat-tempat sampah di sepanjang jalan Fatmawati Semarang. Menuju ke pasar Pedurungan, ke depan warung makan cepat saji yang serba ayam. Apa yang dia cari? Mengumpulkan kertas-kertas, sedotan, plastik-plastik bekas, puntung rokok. Semua sampah kering yang dikumpulkan dipisahkan per kelompok. Kakek begitu jeli memilah-milah sampah.

Kalau dulu Kakek ini menjual sampahnya ke lapak barang bekas di seberang pasar Pedurungan. Namun sekarang sudah tidak dilakukan lagi. Dengan cukup menggelar hasil memulung di samping depan swalayan di jalan Fatmawati, pemulung bersepeda sudah menawar hasil memulung Kakek. Si Mas penadah cukup memberikan Rp 3000,- untuk segepok kertas, sedotan dan beberapa plastik bekas.

[caption id="attachment_136845" align="aligncenter" width="448" caption="Transaksi dengan Pemulung muda"][/caption]

Walau demikian, Kakek tidak menolak pemberian para pengendara sepeda motor atau orang-orang di sekitar yang iba kepadanya. Semua diterima sebagai rasa syukur dan tidak mengurangi rasa malas untuk memulung di tempat sampah.

Pernah suatu ketika Kakek terserempet sepeda motor di sekitar pasar. Sehingga berjalan pun harus terseok-seok. Kasihan Kakek, sudah jalan di pinggir pun masih diserempet kendaraan pula. Beberapa tukang parkir di pasar dan warga sekitar juga sudah hapal dengan keberadaan Kakek. Mereka tidak merasa terganggu dengan keberadaannya.

Kakek juga tidak bisa lepas dari rokok. Beberapa rupiah hasil memulung digunakan untuk membeli rokok, atau dari hasil memungut puntung rokok, dilinting kembali dengan kertas rokok. Yang penting bukan merokok dari hasil mengemis. Dari cerita Kakek, dulu ia pernah mengemis, namun Kakek kapok karena setiap mengemis di jalan ditanggap Satpol PP. Mengemis lagi, ditangkap lagi. Akhirnya Kakek memilih memulung ini. Padahal tak jauh di tempat Kakek berada, di pertigaan Pedurungan selalu hadir Kakek buta beneran atau tidak kurang begitu jelas, selalu hadir dengan tongkatnya di pembatas jalan. Agak siang sedikit terganti dengan gerombolan anak-anak dan emaknya yang menggantikan posisi Kakek buta di pertigaan.

Lalu kemana keluarganya Kakek Pemulung? Kakek mengaku dari Solo, tetapi dia sudah menganggap di jalan tempat dia berada itulah tempat tinggalnya. Mau mudik, rasanya Kakek sudah enggan. Dia sudah nyaman dengan keadaan sekarang, bisa memulung bebas, bisa makan, bisa tidur tanpa diusir. Dari pengakuannya, mata Kakek sudah sedikit rabun jadi tidak memungkinkan untuk mudik ke kampung.

Di Sore hari Kakek sudah mempunyai tempat yang nyaman untuk istirahat. Di depan sebuah warteg di jalan Fatmawati. Disitulah Kakek menggelar tikar dengan segala gembolan dan tongkat kayunya berada di bawah kakinya, berselimutkan kain lusuh dan angin malam. Sang Pemilik warung sungguh baik budi, bertahun-tahun memberikan tempat berteduh untuk Kakek pemulung ini. Terkadang sebungkus nasi atau apapun diberikannya kepada sang Kakek. Jika tidak tidur di depan warteg, Kakek tidur di sebelah warnet.

Ah Kek, ternyata memulung lebih membuatmu bahagia dari mengemis dan hidup di jalan lebih nyaman daripada berkumpul dengan keluarga. Ternyata kebahagianmu sungguh sederhana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun