Mohon tunggu...
Hari Murti
Hari Murti Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

STRATA 1 BIDANG EKONOMI PERTANIAN ; CInta Menulis untuk Bangsa yang Berliterasi

Selanjutnya

Tutup

Book

Resensi Buku: Konferensi Meja Bundar (KMB): Jalan Menuju Terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia

2 September 2024   06:08 Diperbarui: 2 September 2024   06:08 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bank Indonesia Institut

Judul Buku                                       :           KONFERENSI MEJA BUNDAR: Jalan Menuju Terbentuknya Bank  Sentral Republik Indonesia

Penanggung Jawab Produksi  :           Yoga Affandi

Kepala Produksi                           :           Clarita Ligaya

Tim Penyusun                               :           Agus Setiawan, Rita Krisdiana, Allan Akbar

Editor                                                :           Nawiyanto

Kontributor                                    :           Hardini Swastiana, Sintya Aprina, Lesta Alfatiana, Rangga Ardia Rasyid, Mirza Ardi Wibawa


Cetakan Pertama, Oktober 2023

xxii + 426 hlm, 14,5 x 20,5 cm

ISBN: 978-623-5662-52-7 (cetak)

978-623-5662-51-0 (PDF)


Bank Indonesia Institute

Jl. M.H.Thamrin No.2, Jakarta 10350 Indonesia

http://www.bi.go.id/id/bi-institute

Kemerdekaan Negara Republik Indonesia merupakan buah dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan yang tidak hanya melalui serangkaian perjuangan fisik, melainkan juga perjuangan diplomasi di meja perundingan. Puncak perjuangan diplomasi dalam menghadapi kolonialisasi Belanda adalah pada Konferensi Meja Bundar (KMB), dimana perundingan KMB menjadi puncak dari semua upaya perundingandan  menjadi akumulasi dari rangkaian perundingan sebelumnya sebagai pembuka jalan seperti perjanjian Linggarjati, Renville dan Roem Royen. Rangkaian proses terbentuknya Bank Indonesia sebagai hasil dari nasionalisasi De Javasche Bank (DJB) tidak hanya berlatar masalah politis-nasionalis semata. Berdirinya Bank Indonesia berdasarkan pada kebutuhan akan sebuah bank sentral yang merepresentasikan kedaulatan ekonomi sebuah negara. Meskipun tidak bisa menghindari fakta bahwa hasil perundingan KMB, lebih memberi keuntungan pada pihak Belanda. Selain mengharuskan RI untuk membayar hutang yang sangat besar kepada Belanda. Buku yang tidak hanya menggambarkan perjalanan yang dinamis, tetapi juga merekam babak penting dalam sejarah pembentukan Bank Indonesia. Kumpulan fakta dan data historis dalam buku Konferensi Meja Bundar: Jalan Menuju Terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia disajikan untuk memperdalam pemahaman tentang proses panjang pembentukan sebuah lembaga yang menjadi cerminan kedaulatan ekonomi sebuah bangsa. Buku Konferensi Meja Bundar Jalan Menuju Terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia" merupakan karya yang diterbitkan oleh Bank Indonesia Institute. Buku ini menyajikan perjalanan sejarah yang kompleks dan penuh dinamika dari revolusi Indonesia hingga terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia sebagai representasi keadaulatan negara Indonesia. Melalui bab-bab yang terstruktur dengan baik, buku ini mengupas tuntas berbagai aspek politik, ekonomi, dan sosial yang mempengaruhi pembentukan Bank Indonesia.

Bab I : Panggung Revolusi -- Dimensi Ekonomi Politik Era Transisi 

Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan peristiwa yang berdampak luas karena berlangsung di tengah transisi kekuasaan politik yang penuh ketidakpastian, menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik. Berbeda dengan bangsa lain yang meraih kemerdekaan melalui  pemberian dari negeri induk, kemerdekaan Indonesia diraih melalui proses berliku karena berbagai kendala dan persoalan yang muncul silih berganti demi mencapai kemerdekaan.  Upaya pihak Belanda untuk pengambilalihan wilayah Hindia Belanda yang telah memerdekakan diri sebagai sebuah republik baru bernama Indonesia, dimulai dengan mendaratkan pasukan NICA di Indonesia pada 08 September 1945 dibantu oleh Inggris sebagai Sekutu Belanda. Belanda berhasil mendaratkan tiga batalion pasukan di Jakarta pada Maret 1946. Tidak hanya mendarat di Jakarta, pasukan Sekutu ingin melaksanakan tugas melucuti tentara Jepang juga datang ke sejumlah kota lain di Indonesia. Kehadiran mereka disambut dengan perlawanan rakyat Indonesia dan melahirkan sejumlah pertempuran heroik terutama Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Sementara itu, situasi di Jakarta yang kian tidak kondusif akibat meningkatnya aksi teror pasukan KNIL memaksa kepala negara dan Pemerintah RI, khususnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, meninggalkan kota itu menuju Yogyakarta pada tanggal 03 Januari 1946 yang sekaligus menandai pemindahan ibu kota RI ke Yogyakarta. Sejak tanggal 4 Januari 1946 Yogyakarta mengambil-alih peran Jakarta sebagai ibukota RI.

Perlawanan rakyat yang demikian gigih terjadi di hampir seluruh wilayah untuk mempertahankan kemerdekaan. Pasukan Inggris berkesimpulan bahwa sengketa antara Indonesia dan Belanda tidak bisa hanya diselesaikan secara militer,  melainkan juga dengan jalan diplomasi. Berbagai usaha diplomasi dengan perjanjian pasca kemerdekaan antara Indonesia dengan Belanda telah dilakukan diantaranya:

1.  Perjanjian Linggarjati (1947) 

Diantara isinya yaitu Belanda mengakui Indonesia secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera. Indonesia menjadi negara Federal atau dikenal dengan RIS dan pembentukan UNI Indonesia Belanda. Namun Belanda melanggar kesepakatan dan melakukan invasi militer pada 21 Juli 1947 di Jawa dan Sumatera, kemudian PBB ikut turun tangan dan membentuk Komisi TIga Negara (KTN) unuk menyelesaikan masalah tersebut.

2. Perjanjian Renville (1948)

Dilakukan setelah dibentuknya Komisi Tiga Negara (KTN) dengan anggota Australia mewakili Indonesia, Belgia mewakili Belanda & Amerika Serikat sebagai perantara. Sidang diadakan diatas kapa USS Renville denga isi perjanjian disepakati yaitu: Republik Indonesia berkedudukan sejajar dengan Belanda, RI menjadi bagian RIS dan diadakan Pemilu untuk pembentukan Konstituante, dan Tentara Indonesia di daerah Belanda harus dipindah ke wilayah RI.

3. Perjanjian Roem-Royen (07 Mei 1949)

Belanda ingkar janji dengan Kembali mengadakan Agresi Militer Belanda II, akibatnya Indnesia mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indoneisa (PDRI) di Bukittinggi Sumatera Barat dengan Presiden sementara Syarifuddin Prawiranegara. Atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia atau United Nations Commission for Indonesia (UNCI), sebuah perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda berhasil diselenggarakan di Jakarta pada 14 April - 07 Mei 1949 yang dikenal dengan perjanjian Roem-Royen  dengan isi perjanjian yaitu menghentikan perang gerilya Indoensia Belanda dan memelihara ketertiban,dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta dan bersedia turut menghadiri Konferensi Meja Bundar dalam waktu dekat.

Pemerintah RI sendiri secara resmi kembali ke Yogyakarta pada 01 Juli 1949, disusul dengan kedatangan para pemimpin RI yang Kembali dari medan gerilya. Secara umum, kondisi perekonomian Indonesia pada masa revolusi sangat memprihatinkan. Kegiatan perekonomian tidak bisa dijalankan secara maksimal karena semua kekuatan dan potensi bangsa dikerahkan untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengatasi pemberontakan yang terjadi di dalam negeri. Selain berbagai masalah di bidang ekonomi, Pemerintah Indonesia juga harus menghadapi masalah moneter pada masa awal kemerdekaan.

Alat tukar yang masih beredar dan digunakan masyarakat adalah uang. Jepang, uang Belanda, serta uang yang masih tersimpan di De Javasche Bank (DJB) karena pemerintah belum memiliki dan mencetak uang sendiri. Angka inflasi yang tinggi menyebabkan penderitaan rakyat makin bertambah. Berbagai upaya pihak Belanda untuk menekan perekonomian RI  melalui blokade ekonomi tidak menyurutkan upaya Pemerintah RI untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang tengah dihadapi rakyat Indonesia. Diantara Langkah perencanaan strategis yang dilakukan pemerintah Indonesia yaitu menyita semua bangunan umum, perkebunan dan industri yang telah beroperasi sebelum perang menjadi milik negara, menasionalisasi bangunan vital milik asing dengan pembayaran ganti rugi, menyita semua perusahaan milik Jepang sebagai ganti rugi terhadap RI dan mengembalikan perusahaan asing kepada yang berhak setelah diadakan perjanjian antara RI dan Belanda juga program rasionalisasi yang mencakup perbaikan administrasi negara, angkatan perang, dan perangkat ekonomi.

Bab II : Bermain Peran -- DJB, NKG, BNI

Selama revolusi kemerdekaan konfrontasi antara Indonesia dan Belanda tidak hanya di medan pertempuran tetapi juga di bidang ekonomi & moneter. dagangan. Penguasaan ekonomi terhadap suatu wilayah merupakan faktor penting dalam upaya melemahkan kekuatan lawan. Penguasaan sektor moneter melalui berbagai kebijakan dan ekspansi wilayah peredaran uang merupakan salah satu strategi penting untuk menegakkan hegemoni territorial.  Dalam masa Perang Pasifik pendudukan Jepang, motif utama Jepang adalah ekonomi. Industri Jepang sangat bergantung pada negara-negara lain sebagai pasar produk Jepang dan pemasok bahan mentah yang diperlukan. Bagi Jepang, kawasan Asia Tenggara tidak hanya kaya akan sumber daya alam tetapi juga menyediakan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja murah. Secara khusus Hindia Belanda penting bagi Jepang karena kekayaan sumberdaya tambangnya terutama minyak bumi. Untuk mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia, Jepang  melancarkan sejumlah propaganda dan membentuk organisasi pendukung. Di antaranya adalah  Gerakan 3A dengan semboyan Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia.

Selain melancarkan propaganda menarik dukungan rakyat, pemerintah pendudukan Jepang memperbaiki berbagai objek vital untuk merehabilitasi  berbagai sarana ekonomi dan infrastruktur pendukungnya. Pemerintah Pendudukan Jepang membagi wilayah Hindia Belanda menjadi dua bagian, yakni wilayah yang dikuasai Angkatan Darat dan wilayah kekuasaan Angkatan Laut Jepang. Di wilayah kekuasan Angkatan Darat yang meliputi wilayah Sumatera dan Jawa, yang mendominasikegiatan bisnis di sektor pertanian, perdagangan dan manufaktur. Sementara di wilayah kekuasaan Angkatan Laut yakni di antaranya Kalimantan dan Sulawesi, dan beberapa pulau lainnya, perusahaan negara lebih berperan. Di sektor produksi pemerintah pendudukan Jepang melakukan berbagai upaya peningkatan produksi beras di Jawa yang dipandang penting untuk menjamin ketersediaan pangan di daerah pendudukan selama perang.

Pembentukan pemerintahan pendudukan militer Jepang diikuti dengan upaya menata institusi keuangan di wilayah yang dikuasainya. Pada 04 Maret 1942, Pemerintah pendudukan Jepang di Jawa selanjutnya mengumumkan bahwa likuidasi DJB dan delapan bank lainnya. Selanjutnya uang kertas DJB dan alat pembayaran Hindia Belanda lainnya akan dipertukarkan secara adil dengan ketentuan yang akan ditetapkan. Di antara bank-bank Belanda di Jawa, DJB merupakan bank terbesar dan diharapkan akan memberikan perpindahan aset dengan nilai besar kepada pemerintah pendudukan Jepang melalui kebijakan likuidasi. DJB merupakan pemasok uang utama di Jawa, tercatat aset-aset DJB termasuk pinjaman-pinjaman dalam jumlah besar kepada pemerintah dan usaha-usaha swasta. DJB juga memiliki kewajiban dalam cadangan emas pinjaman pemerintah dan rekening lainnya di kantor cabang yang berlokasi di luar Jawa serta pada uang yang dikeluarkannya. Penyitaan aset-aset bank-bank terbanyak dilakukan di Jawa  mengingat kegiatan dan pusat-pusat bisnis berbagai perusahaan Belanda  dan asing terkonsentrasi di pulau tersebut, terutama di Batavia dan Surabaya. Selain di Jawa, pemerintah pendudukan Jepang juga menyita berbagai aset bank-bank asing di Sumatera yang keberadaannya terkonsentrasi di Medan, Padang, dan Palembang. Selain kebijakan terkait likuidasi bank asing, di bidang perbankan,  pemerintah pendudukan Jepang juga memutuskan untuk mendirikan Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG) yang berfungsi sebagai bank sirkulasi untuk menggantikan DJB. Dalam pelaksanaannya, kebijakan likuidasi bank-bank asing dilakukan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG). NKG sebagai bank sirkulasi masa pendudukan Jepang mempunyai fungsi yang sebelumnya dipegang oleh DJB. Kebijakan pemerintah pendudukanJepang di bidang moneter berhasil mengumpulkan uang tunai dalam bentuk pajak dan biaya dari ekonomi daerah serta mampu mencairkan biaya administrasi yang ada. Dalam melebarkan usahanya, NKG cabang Jawa memberikan pinjaman pada sektor manufaktur dan pertambangan. Selain di Jawa, pinjaman NKG juga disalurkan untuk perluasan  bisnis di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak NKG menggantikan peran DJB, pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan uang dengan tetap mengakui uang Hindia Belanda yang telah beredar di masyarakat. Kedua uang tersebut memiliki nilai yang setara. Upaya untuk memperbaiki perekonomian Indonesia dari sektor  moneter diawali dengan sidang Dewan Menteri Republik Indonesia pada 19 September 1945 untuk mendirikan bank sirkulasi atau bank umum itu sendiri. Pada rapat tersebut, Presiden Soekarno memutuskan untuk mendirikan sebuah Bank Negara Indonesia (BNI). Pemerintah RI akhirnya berhasil merealisasikan pembentukan BNI yang diresmikan oleh Wakil Presiden Moh. Hatta pada 17 Agustus 1946. Tugas penting yang dipikul BNI sebagai bank sirkulasi adalah mencetak dan mengedarkan uang ke seluruh wilayah Indonesia. Pada masa revolusi, kantor-kantor perwakilan BNI di sejumlah daerah mengawali kegiatan operasionalnya dengan menggunakan gedung-gedung bekas kantor DJB, Situasi revolusi sangat mempengaruhi keberadaan dan fungsi BNI sebagai bank sirkulasi. Perkembangan politik dan militer dalam sengketa Indonesia Belanda sangat mempengaruhi kinerja dan pelaksanaan tugas dan fungsi BNI, terutama dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan BNI sebagai bank sirkulasi yang bertugas dalam pencetakan dan pengedaran ORI (Oeang Republik Indonesia) di wilayah kedaulatan Indonesia.

Bab III : Konferensi Meja Bundar (KMB)

Tidak seperti perundingan dan perjanjian antara Belanda dan Indonesia sebelumnya, KMB membutuhkan waktu lebih lama bagi pihak Belanda maupun Indonesia. Untuk dapat melestarikan pengaruh Belanda atas perekonomian Indonesia, delegasi Belanda melalui KMB juga meminta agar kontrol moneter tetap dalam genggamannya. Setelah melewati tahun-tahun yang sangat sulit, perundingan yang sangat menentukan dalam upaya memperoleh pengakuan kedaulatan, yakni KMB yang diselenggarakan di Den Haag. Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah diplomasi bangsa Indonesia. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta yang beranggotakan 11 anggota delegasi lainnya. Dapat dikatakan masalah hutang piutang yang berkaitan langsung dengan syarat pengakuan kedaulatan menjadi titik krusial dan paling menyita perhatian, pihak Indonesia menghendaki bahwa kewajiban  membayar hutang yang muncul setelah 1942 hanya bisa mereka akui jika hutang tersebut dibuat untuk kepentingan Indonesia. Selain masalah hutang piutang, masalah krusial lain yang sulit ditemukan solusi bagi kedua belah pihak adalah konsesi perusahaan perusahaan Belanda yang menguasai perekonomian Indonesia. Apa yang diinginkan Pemerintah Belanda melalui KMB merupakan  hal yang sebaliknya diinginkan oleh Pemerintah Indonesia. Sementara itu, para pemimpin dan anggota delegasi memegang amanah dari masingmasing pemerintah agar tujuan dan target dari Perundingan KMB dapat tercapai. Dengan segala pertimbangan dan juga sebagai dampak dari intervensi AS pada 24 Oktober 1949 delegasi RIS bersedia mengambil alih hutang Belanda sesuai dengan angka terakhir yang diajukan pihak Belanda yakni sebesar 4,3 miliar gulden. Sebuah angka yang sangat memberatkan bagi pemerintah dan rakyat Indonesia namun juga menjadi sebuah opsi yang dipilih sebagai negosiasi untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Tidak berhenti hingga pada titik itu, jumlah hutang yang harus  dibayar memiliki konsekuensi lain karena Pemerintah RIS harus membayarnya dalam mata uang asing yakni dolar dengan cara membentuk bank sentral baru. Pihak Belanda sendiri dalam sejumlah perundingan selama KMB berhasil menjadikan DJB menjadi sebagai Bank Sentral dan hal tersebut pada akhirnya diterima oleh delegasi Indonesia yang semula menginginkan BNI 46. Terlepas dari pertimbangan politik dan keinginan Belanda untuk tetap mendominasi perekonomian Indonesia, DJB dipandang telah berkontribusi dalam perkembangan perekonomian pada masa kolonial dengan cabang yang telah tersebar di sejumlah wilayah di Hindia Belanda. selain itu DJB merupakan bank sirkulasi pertama di Asia yang menjadi contoh pembentukan bank-bank sirkulasi lainnya. Bagaimanapun juga keputusan dalam menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi bagi RIS merupakan salah satu bentuk kekalahan diplomasi Indonesia selain ketidaksempurnaan pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia. Secara keseluruhan, delegasi Belanda dan Indonesia memutuskan sejumlah kesepakatan dalam bidang Ekonomi Keuangan atau FinancialEconomic Agreement yakni kesediaan Indonesia mengizinkan perusahaanperusahaan Belanda untuk beroperasi Kembali seperti sebelum perang termasuk kebebasan untuk mentransfer keuntungannya. KMB yang diselenggarakan sejak 23 Agustus 1949 berakhir pada 02 November 1949 dengan kesepakatan sejumlah hal penting yang tidak bisa dicapai antara pihak Indonesia dan Belanda dalam perundingan dan perjanjian sebelumnya. Kesepakatan-kesepakatan tersebut antara lain:

  • Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara merdeka dan berdaulat,
  • Status Keresidenan Irian Barat akan diselesaikan kemudian dalam waktu satu tahun setelah pengakuan kedaulatan,
  • Sebuah Uni Indonesia-Belanda akan dibentuk berdasarkan kerjasama yang bersifat sukarela dan setara,
  • RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak konsesi dan izin baru bagi perusahaan-perusahaan Belanda
  • RIS bersedia membayar semua hutang Belanda yang terhitung sejak 1942.

Piagam Persetujuan Konstitusi RIS antara Republik Indonesia dan BFO ditandatangani pada 29 Oktober 1949 sebagai salah satu bentuk komitmen pihak Indonesia dalam menjalankan sejumlah keputusan yang sudah disepakati dalam KMB. Setelahnya Upacara penandatanganan akta penyerahan kedaulatan dilakukan baik di Indonesia maupun di Belanda pada 27 Desember 1949. Pada saat KMB berlangsung pihak Belanda memiliki DJB, sedangkan pihak Republik Indonesia mempunyai BNI. Masing-masing mengusung bank miliknya untuk diperjuangkan di meja perundingan KMB untuk menjadi bank sirkulasi di wilayah yang diperebutkan. Hingga perundingan KMB berlangsung di wilayah Indonesia terjadi  dualisme bank sirkulasi. Kesepakatan KMB membawa perubahan status baik bagi BNI maupun DJB, yang sekaligus mengakhiri berlangsungnya dualisme bank sirkulasi. Sesuai dengan kesepakatan KMB, DJB ditetapkan sebagai bank sirkulasi untuk RIS. Dengan dipilihnya DJB sebagai bank sirkulasi bagi RIS, maka fungsi BNI sebagai bank sirkulasi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 undang-undang pendiriannya menjadi tidak efektif. Setelah Persetujuan KMB ditandatangani dan tidak lagi bertugas mencetak dan mengedarkan uang di wilayah Indonesia, BNI beralih menjadi bank umum yang merupakan salah satu tugas dalam pasal tersebut.

Bab IV : Kesepakatan Financieel Economische Overeenkomst (FINEC) Indonesia -Belanda

Salah satu kesepakatan penting yang merugikan pihak RIS dalam Perjanjian KMB adalah Rancangan Persetujuan Keuangan dan Perekonomian yang terdiri dari lima bagian. Dari lima bagian tersebut, masalah hutang piutang menjadi bagian yang paling krusial dan menjadi salah satu sebab Perundingan KMB sempat mengalami kebuntuan karena delegasi Belanda sama sekali tidak memberikan konsesi apapun di bidang keuangan dan ekonomi. Hutang dalam jumlah besar yang harus dibayar sebesar Rp 4,765 milyar oleh Pemerintah RIS menurut delegasi Belanda mengacu pada kenyataan bahwa Indonesia adalah pewaris Hindia Belanda. Bagi Pemerintah Indonesia, perjuangan mempertahankan kemerdekaan selama masa revolusi membuat sumber pendapatan negara sangat terbatas terlebih saat NICA menerapkan blokade ekonomi. Pemerintah RI mengalami defisit anggaran pada yang sangat parah. Melalui Pasal 14 terdapat kesepakatan bahwa baik Pemerintah Belanda maupun RIS akan memiliki satu buah bank sirkulasi sekaligus menetapkan nilai tukarnya. Pemerintah Belanda memiliki kepentingan dalam memastikan pembayaran hutang yang akan ditanggung oleh Pemerintah RIS sehingga bersikeras agar DJB menjadi Bank Sentral yang akan mengatur sistem moneter dalam Pemerintahan RIS. Biaya besar yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah RIS merupakan  sebuah konsekuensi untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar yakni pengakuan dunia internasional terutama Pemerintah Belanda  terhadap kemerdekaan Indonesia. Namun demikian. pemerintah dan rakyat Indonesia menyadari bahwa hasil Perundingan KMB terlalu menguntungkan pihak Belanda. Kembalinya dominasi Belanda dalam perekonomian Indonesia juga tampak sangat jelas. Beban perekonomian Indonesia bertambah berat bukan hanya karena kembalinya usaha-usaha Belanda, melainkan juga terkait berbagai persoalan domestik yang menyita banyak perhatian dan seumberdaya keuangan. Indonesia memang kemudian mendapatkan pengakuan kedaulatan  dari Belanda, namun situasi perekonomian yang dihadapi oleh Pemerintah RIS setelah penandatanganan Perjanjian KMB justru terlihat kian berat terutama bagi sejumlah kementerian yang bersentuhan langsung dengan masalah-masalah perbaikan ekonomi rakyat.

Bab V : Nasionalisasi De Javasche Bank

UUD 1945 mengamanatkan bahwa pelaku ekonomi nasional terdiri dari tiga bentuk usaha yakni swasta, BUMN dan koperasi.  Hal tersebut bermakna bahwa konstitusi RI secara langsung mengumumkan bahwa di Indonesia terdapat perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh negara atau Badan Usaha Milik Negara selain keberadaan usaha swasta dan koperasi. Keinginan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda tidak terlepas dari ketidakpuasanatas jaminan kelangsungan berbagai bisnis perusahaan-perusahaan Belanda yang masih akan mendominasi perekonomian Indonesia. Berbagai upaya pengambilalihan aset-aset asing melalui nasionalisasi tidak terlepas dari adanya pergerakan kaum buruh yang dalam keseharian terlibat langsung dalam kegiatan produksi perusahaan-perusahaan asing tersebut. Di samping bekerja untuk perusahaan, kaum buruh memiliki agenda dan kepentingan sendiri yang seringkali dikendalikan oleh serikatserikat pekerja dimana mereka bernaung. Melalui serikat-serikat pekerja tersebut mereka melancarkan berbagai protes dan demonstrasi untuk memperjuangkan kepentingan dan tuntutannya. Desakan untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda juga tidak terlepas dari ketidakpedulian para pemilik modal asing yang umumnya berstatus warga negara Belanda. Mereka cenderung lebih memikirkan keuntungan dan kurang memperhatikan kesejahteraan masyarakat terutama para pekerja. Kondisi ini yang kemudian juga memunculkan desakan agar Pemerintah RI menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda secara bertahap sekaligus mendorong munculnya pengusaha-pengusaha lokal.

Di sisi lain nasionalisasi juga tidak semata mata pengambilalihan aset-aset, tetapi juga patut difikirkan mengenai masa depan pengelolaan perusahaan-perusahaan asing tersebut,  Mr. Sjafruddin Prawiranegara berpandangan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan Belanda sebaiknya disikapi dengan bijaksana. Ia cenderung untuk terlebih dahulu mempersiapkan sumber daya manusia sebelum bangsa ini mengambil alih perusahaan-perusahaan asing melalui proses nasionalisasi. Dari berbagai perusahaan dan institusi asing terutama milik Belanda, keberadaan DJB sebagai bank sirkulasi RIS  banyak mendapat sorotan publik. Gagasan untuk menasionalisasi DJB terlontar dalam Muktamar Partai Masyumi yang diselenggarakan pada Bulan Desember 1949 sebagai reaksi atas keputusan KMB terkait penunjukkan bank sirkulasi RIS. Di tengah berkembangnya dua pandangan berbeda terhadap masalah nasionalisasi DJB, Pemerintahan mengambil Tindakan nyata untuk memulai proses nasionalisasi dengan membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Panitia Nasionalisasi kemudian mengirimkan surat pertama kepada Direksi DJB yang menjelaskan bahwa akan sangat menghargai jika DJB. dapat bekerja sama dalam melaksanakan tugas Panitia Nasionalisasi. Komunikasi awal tersebut dilanjutkan dengan sejumlah perundingan antara Panitia Nasionalisasi dengan Direksi DJB. Menteri Keuangan Jusuf Wibisono mengangkat  Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Presiden DJB pada 14 Juli 1951 melalui Keputusan Presiden RI No. 123 Tanggal 12 Juli 1951.  Mr. Sjafruddin Prawiranegarasecara resmi mulai menjalankan tugasnya sebagai Presiden DJB pada 15 Juli 1951. Selama menjabat sebagai Presiden DJB dan kemudian sebagai  Gubernur Bank Indonesia, Sjafruddin berupaya meletakkan pondasi  kemandirian bank sentral dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Ia menyatakan pentingnya pemisahan bank sentral dari pemerintah agar bank sentral dapat memiliki wewenang penuh untuk bekerja secara otonom dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimanatkan oleh undang-undang. Susunan Direksi DJB setelah ditunjuknya Sjafruddin sebagai Presiden DJB sebagai berikut:

Bank Indonesia Institut
Bank Indonesia Institut
Dengan terpilihnya Mr. Sjafruddin sebagai Presiden DJB, Panitia Nasionalisasi DJB selanjutnya mengambil langkah-langkah lebih lanjut mengingat Pemerintah Indonesia harus segera menata sistem moneter terutama peredaran uang yang rentan menyebabkan inflasi. Pada titik ini peran sebuah bank sirkulasi demikian penting untuk menjaga kelangsungan perekonomian negara. Eskalasi upaya nasionalisasi DJB semakin mengarah pada proses dan keputusan akhir. Pada 15 Desember 1951 Pemerintah RI mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1951 Tentang Nasionalisasi DJB. undang-undang tersebut menjawab kepastian akan nasionalisasi DJB kendati banyak pula suara-suara yang menghimbau agar nasionalisasi DJB dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan pertentangan dengan pihak Belanda. Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 1951 Tentang  Nasionalisasi DJB, dinyatakan bahwa saham-saham DJB yang belum dimiliki oleh pihak RI segera dicabut haknya oleh Pemerintah RI dan beralih status menjadi milik penuh dan bebas dari Negara. Sementara Pasal 3 menjelaskan bahwa kepada para pemilik saham akan diberi ganti rugi sebesar 120 % dari harga nominal sahamnya dalam mata uang Belanda atau terhadap warga negara Indonesia yang menurut peraturan devisa berkedudukan di Indonesia, maka ganti rugi yang akan diterimanya sebesar 360 % dalam mata uang Indonesia. Nasionalisasi yang dilakukan terhadap DJB mendapat sambutan positif dari para politisi dan Pemerintah RI. Pendirian BI sendiri bukan satu-satunya solusi untuk masalah perekonomian Indonesia. Menurut  Mr. Sjafruddin Prawiranegara melalui kata pengantar Laporan DJB tahun 1952-1953, populasi penduduk Indonesia telah meningkat dibandingkan dengan masa sebelum terjadinya Perang Pasifik. Hal ini membutuhkan upaya peningkatan sumber-sumber produksi agar rakyat Indonesia bisa meningkatkan taraf hidup.  Menurutnya peningkatan produksi nasional sebagai satusatunya cara untuk mencegah pemangkasan yang diperlukan. Pada titik ini BI diharapkan dapat ikut mengeluarkan kebijakan di bidang moneter yang dapat meningkatkan aktivitas produksi. Nasionalisasi DJB yang dilakukan secara formal dan simbolis oleh Pemerintah RI dan dilanjutkan dengan pendirian BI merupakan upaya untuk menegakkan kedaulatan ekonomi.

Bab VI : Bank Indonesia - Lahir dan Berjuang Untuk Negeri

Nasionalisasi terhadap DJB merupakan proses krusial yang membuka jalan bagi Pemerintah Indonesia untuk mendirikan Bank Indonesia. Pendirian Bank Indonesia meletakkan fondasi bagi Pemerintah RI dalam menata sistem moneter. Pada Maret 1953 artikel mengenai RUU Bank Indonesia muncul dan seolah menjadi penanda akan adanya pergantian nama DJB menjadi Bank Indonesia. Pada tanggal 19 Mei 1953 Presiden Soekarno mengesahkan RUU yang sudah disampaikan di depan Parlemen RI. Parlemen selanjutnya menyetujui dan mengesahkan RUU tersebut pada 29 Mei 1953. Pada 2 Juni 1953 RUU Pokok Bank Indonesia diumumkan menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1953 No. 40. Serta dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Juli 1953. Dengan demikian pada 30 Juni 1953 harus dilakukan penutupan buku DJB, sementara neraca akhir DJB pada 30 Juni 1953 menjadi neraca permulaan Bank Indonesia pada 1 Juli 1953. Pada tanggal 1 Juli 1953 Bank Indonesia (BI) didirikan dan sesuai dengan UUPBI Pasal 1 ayat (1) pendirian BI tersebut mengakhiri keberadaan DJB. Berbeda dengan DJB yang merupakan sebuah institusi swasta yang mendapat hak Oktroi dari Pemerintah Belanda, BI adalah bank yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia sehingga semua yang kelak berkaitan dengan dinamika perjalanan BI menjadi tanggung jawab pemerintah.

Mengacu pada rumusan tugas Bank Indonesia dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 1953, Bank Indonesia (BI) memiliki tiga  fungsi tradisional sebuah bank sentral yakni fungsi yang berkaitan dengan  kebijakan moneter, kebijakan perbankan dan memperlancar lalu lintas pembayaran. Fungsi-fungsi BI pada umumnya tidak banyak berbeda dengan fungsi-fungsi bank sentral di negara-negara maju. BI berfungsi sebagai bankir dari bank-bank  dan agen fiskal  dari Pemerintah, mengawasi dan memobilisasi serta mengatur lalu lintas devisa selain mengawasi sistem perkreditan di Indonesia. Dalam perjalanannya sejak berdiri, BI mengalami dinamika dalam menjalankan berbagai tugas yang diembannya. Tugas pokok BI  mengacu pada Undang-undang No. 11 Tahun 1953 yang hanya menyangkut peredaran uang dan pemeliharaan keseimbangan moneter sehingga fungsi-fungsi lainnya dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan tugas pokok BI dalam menjaga kestabilan nilai mata uang. Peranan BI sebagai agen pembangunan lebih terlihat dari laporan laporannya yang mengungkap perkembangan dan membahas berbagai permasalahan ekonomi nasional dan membandingkannya dengan situasi kondisi ekonomi sejumlah negara lain. Dengan mengamati perkembangan perekonomian dan berbagai faktor yang menyebabkan kemajuan dan kemunduran ekonomi negara, BI secara eksplisit langsung dapat memberikan analisis untuk memahami dan memberikan pemahaman mengenai situasi perekonomian Indonesia serta berkontribusi terhadap strategi moneter yang tepat untuk dijalankan hingga di zaman modern saat ini.

Epilog 

Penjelasan fakta, data dan akurasi bukti sejarah membuat buku ini layak dan sangat menarik untuk menelisik lebih dalam proses perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka membentuk bank sentral sebagai representasi dari kedaulatan ekonomi Indonesia sebagai negara merdeka dan melepaskan cengkaraman kolinialisasi Belanda dari tanah air Indonesia. Sedikit sekali kekurangan dalam buku ini, hanya terlalu banyak dalam pengulangan historis runtutan cerita dari suatu peristiwa yang sudah ada di bab dan subbab sebelumnya sehingga narasinya menjadi lebih Panjang dan luas, namun selebihnya buku ini sangat direkomendasikan untuk dapat memberikan insight lebih mendalam dan rinci mengenai sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dari kolonialisasi dan upaya pembentukan Bank Sentral di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun