Seiring dengan perkembangan zaman kebudayaan, manusia mengalami perkembangan yang pesat dalam kegiatan transaksi keuangan yang dilakukan manusia sehingga menjadikan perkembangan perbankan semakin berkembang membuat perekonomian manusia sangat membutuhkan aturan yang dapat meningkatkan kegiatan ekonominya  seiring dengan perkembangan pemikiran manusia yang semakin maju. Seiring berkembangnya kegiatan ekonominya, manusia membutuhkan lebih banyak dana untuk melakukan ekspansi kegiatan ekonominya.
Tidak hanya secara makro, dalam lingkup masyarakat sehari-hari pun dibutuhkan perputaran keuangan agar kehidupan ekonomi masyarakat tetap berjalan. Kendala terjadi dikala menurunnya aktivitas ekonomi diberbagai sektor, maka dibutuhkan lembaga intermediasi sebagai perantara untuk meningkatkan kembali aktivitas perekonomian dengan memberikan dana kepada pelaku ekonomi yang membutuhkan. Â Dengan kata lain, intermediasi keuangan adalah suatu proses dimana lembaga keuangan bertindak sebagai perantara antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang menyediakan dana. Artinya, lembaga keuangan akan menyalurkan dana dari pihak yang memiliki kelebihan dana (seperti bank atau investor) ke pihak yang membutuhkan dana (seperti perusahaan atau individu) dalam bentuk pinjaman atau investasi (Rivai, 2007).
Lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary) tergolong dalam 2 macam, baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non-bank. Adapun lembaga keuangan bank seperti bank umum, bank perkreditan rakyat dan bank sentral sedangkan lembaga keuangan non-bank seperti pialang, reksadana, perusahaan sekuritas, asuransi dan banyak lagi. Sebelumnya telah dijelaskan menurut Schinasi (2004) bahwa sistem keuangan secara khusus salah satunya harus mampu menunjang kemudahan penyelenggaraan sistem pembayaran atau biasa kita kenal dengan inklusi keuangan.
Dilansir dari laman resmi World Bank (2020) bahwa kemudahan akses pada lembaga keuangan disebut sebagai inklusi keuangan dimana akses bagi setiap orang atau bisnis untuk bisa memanfaatkan produk ataupun layanan keuangan. Layanan ini berperan penting untuk bisa memenuhi segala kebutuhan manusia setiap hari, seperti transaksi pembayaran, tabungan, kredit serta asuransi yang bisa dikerjakan secara efektif dan kontinyu. Sehingga untuk terjadinya intermediasi maka dibutuhkan juga inklusi keuangan dimana setiap lapisan masyarakat dapat menjangkau lembaga intemediasi keuangan untuk kegiatan perputaran ekonomi yang lebih efektif dan efisien serta terjangkau.
Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan menjelaskan bank merupakan Badan Usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk--bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Menurut Kasmir  (2008) pengertian bank sebagai suatu badan berfungsi sebagai perantara keuangan dari dua pihak, yaitu pihak yang kelebihan dana (surplus unit) dan pihak yang kekurangan dana (defisit unit).
Menurut Sinungan (2000) pengertian bank sebagai lembaga intermediasi keuangan, di samping tetap menjaga kepercayaan masyarakat dengan menjamin tingkat likuiditas juga beroperasi secara efektif dan efisien untuk mencapai tingkat rentabilitas yang memadai.
Financial Intermediary sebagai lembaga intermeidasi keuangan memiliki sifat yang luas cakupannya, itu karena fungsinya yang dimainkan oleh lembaga keuangan bank maupun non-bank. Lembaga keuangan ini menjalankan fungsinya dengan cara menyediakan sumber daya dana bagi perusahaan. Dalam hal ini, lembaga keuangan berperan sebagai pengumpul dana dan menyalurkannya ke tempat yang membutuhkan dengan suatu imbalan atau biaya yang dikenakan atas jasa intermediasi yang diberikannya. Dengan demikian, intermediasi keuangan dapat mengatasi masalah kekurangan dana bagi pelaku ekonomi.
Berdasarkan website dari Bank Indonesia, BI merilis aturan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial UMKM sebagai salah satu upaya Bank Indonesia meningkatkan inklusi ekonomi dan membuka akses keuangan serta memperkuat peran UMKM dalam pemulihan ekonomi nasional. Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) merupakan bagian instrumen makroprudensial Bank Indonesia yang ditujukan pada pengelolaan fungsi intermediasi perbankan agar sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan perekonomian serta tetap menjaga prinsip kehati-hatian. Kebijakan RIM mengakomodasi adanya keberagaman bentuk intermediasi perbankan dengan memasukkan investasi bank pada surat berharga. RIM mendorong terciptanya fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, sehingga dapat mencegah dan mengurangi risiko perilaku perbankan yang cenderung prosiklikal (Bank Indonesia, 2021).
Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral di Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 24/3/PBI/2022 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. PBI ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Bank Indonesia untuk terus meningkatkan inklusi ekonomi dan membuka akses keuangan serta memperkuat peran UMKM dalam pemulihan ekonomi nasional. kebijakan tersebut memberikan opsi yang lebih luas bagi perbankan untuk berpartisipasi dalam pembiayaan UMKM, Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR), dan pembiayaan yang bersifat inklusif lainnya. Penerbitan PBI tersebut dilatarbelakangi dengan beberapa pertimbangan, yaitu BI berperan serta menjaga terpeliharanya stabilitas sistem keuangan melalui kebijakan makroprudensial dengan mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas (Bank Indonesia, 2022).