Menjelang Pemilu 2024, situasi Indonesia tampaknya kian menghangat. Di Cilegon, Banten, massa menolak pembangunan gedung gereja. Walikota dan Wakil Walikota pun ikut menandatangani petisi penolakan. Entah apa yang ada di kepala kedua pejabat daerah itu. Yang jelas, tindakan keduanya tidak konstitusional. Mereka terseret ke dalam arus politik massa.Â
Sementara itu, di Nunukan, Kalimantan, orang tak dikenal melempar bom molotov ke gedung gereja. Simbol-simbol keagamaan menjadi sasaran. Besok, lusa, atau kapan saja, rumah ibadat yang lain bisa menjadi target. Entah masjid, gereja atau pun vihara dan klenteng. Semua bisa dilempari bom atau didatangi oleh kelompok massa.
Pola-pola yang demikian bukan barang baru. Indonesia sudah akrab dengan cara yang demikian. Sayang sekali! Pola yang buruk, tetapi terus diulangi. Ini harus kita waspadai dan antisipasi terus-menerus.
Pola-pola tersebut memperlihatkan apa yang disebut sebagai politisasi SARA. Ibaratnya, lagu lama yang terus diputar ulang. Membosankan! Bahkan, memuakkan. Tapi, inilah Indonesia.Â
Fundamentalisme Sudah Berurat-akar?
Dulu kita menjadi bangsa yang penuh toleransi. Lalu, sekarang? Saya yakin, kita pun masih demikian. Hanya saja, dalam momentum tertentu, seperti Pemilu yang mendekat, intoleransi mulai kembali menjadi berita. Sudah pasti ada yang mendalangi. Namun, siapa mereka?Â
Kita harus bertanya kepada polisi, BIN, dan satuan anti teror karena mereka yang bertugas untuk itu. Mereka tahu banyak informasi yang kita sebagai orang awam tidak ketahui.
Namun, sebagai masyarakat biasa, rasanya kita juga perlu cermat dan cerdas. Jangan mudah terhasut dengan pendeta, kyai, ustadz, atau rohaniawan dan tokoh agama tertentu yang suka menghasut. Mereka yang suka menghasut ini sejatinya bukan tokoh agama. Mereka adalah provokator. Mereka adalah pemecah-belah bangsa dan negara.
Kita juga harus kritis dengan berbagai ajaran. Saat ini fundamentalisme dan radikalisme agama sedang ditanamkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Ajaran-ajaran ini seolah mau mempertahankan kemurnian dan kebenaran mutlak dengan mengkafirkan orang dari keyakinan lain. Model keyakinan yang fundamentalistik dan radikalistik ini ada dalam hampir semua agama. Dan, hal inilah yang membuat politisasi SARA gampang digulirkan.
Apalagi, ketika otak pemerintah (daerah) pun sudah ikut terkooptasi ke dalam provokasi SARA, maka mudah bagi mereka untuk merestui tindakan intoleransi seperti yang terjadi di Cilegon. Kita berduka dan menyayangkan peristiwa tersebut. Juga kita prihatin dengan apa yang terjadi di Kalimantan.
Semoga realitas tersebut tidak menjadi cerminan bahwa sebetulnya sekarang ini fundamentalisme dan radikalisme agama sudah mulai berurat-akar di Indonesia.