Mohon tunggu...
Hariman A. Pattianakotta
Hariman A. Pattianakotta Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penyuka musik

Bekerja sebagai Pendeta dan pengajar di UK. Maranatha

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bahaya Laten Intoleransi dan Radikalisme Agama

13 November 2020   19:55 Diperbarui: 13 November 2020   19:57 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Intoleransi berarti tidak ramah terhadap atau tidak menghargai perbedaan. Sedangkan radikalisme yang dimaksudkan di sini adalah sikap yang memusuhi perbedaan. Jadi, radikalisme itu satu tingkat di atas intoleransi.

Naik lagi sedikit adalah terorisme. Ini adalah musuh global. Terorisme memerangi perbedaan dan menghalalkan kekerasan, seperti pembunuhan, penyerangan dengan senjata, dan pengeboman.

Intoleransi, radikalisme, dan terorisme ada dalam banyak agama. Realitas ini tidak hanya hidup dalam satu agama tertentu. Hampir semua agama menyimpan bahaya laten ini.

Fenomena Indonesia

Indonesia dulu dikenal sebagai surganya agama-agama. Semua agama besar dunia ada di sini. 

Bahkan, tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga hidup dengan rukun dan damai. Di banyak tempat, kita bisa melihat rumah ibadat seperti  gereja dan masjid berdiri berdampingan dan berdempetan. Sebelah-menyebelah. Umatnya tidak takut dengan perbedaan. 

Masyarakat hidup damai. Saling memberi ucapan selamat saat perayaan hari besar keagamaan. Mereka saling mengunjungi. Tidak ada ketakutan soal Islamisasi atau Kristenisasi.

Akan tetapi, di penghujung masa Orde Baru dan setelah Reformasi, situasi berubah drastis. Kita seolah kehilangan kesantunan dan keramah-tamahan. Konflik kekerasan antar umat beragama terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Situasi intoleransi pun masih berlangsung hingga kini. Politisasi agama dan agamanisasi politik adalah salah satu biang keladi dari fenomena yang terjadi saat ini.

Politisasi agama dan agamanisasi politik bisa terjadi karena ketidak-kritisan umat beragama dan pimpinan agama itu sendiri. Mereka menyangka bahwa kelompok agama mereka adalah satu-satunya pemilik kebenaran. Lalu, orang di luar mereka dikafirkan dan dibidatkan.

Padahal, Allah itu Maha Besar. Jalan-jalan-Nya tak terselami oleh pikiran manusia. Anehnya, di tangan beberapa pemimpin agama yang suka berkhotbah provokatif dan menyerang pihak lain, Allah dibatasi karya dan kebenaran-Nya. Umat pun tampaknya mengikuti saja apa kata pemuka agama itu. 

Bahkan, ada yang rela memberi diri untuk membela apa yang mereka sebut dan klaim sebagai kebenaran. Padahal, seperti yang dikatakan Gus Dur, kebenaran (agama) tidak perlu dibela. Apalagi, sampai melakukan kekerasan dan pembunuhan. 

Fenomena tersebut menjadi contoh dari wujud beragama tanpa akal sehat. Inilah yang membuat orang beragama menjadi intoleran, radikalis, bahkan teroris. 

Antisipasi

Situasi buram tersebut mesti lekas-lekas diatasi. Tidak boleh ada satu kelompok agama tertentu, atas nama agama apa pun, yang merasa diri paling benar, paling suci, dan paling berkuasa, sehingga bisa berkata dan bertindak seenaknya. 

Pertaruhannya ada tiga, kemanusian, agama, dan keutuhan bangsa. Kemanusiaan kita akan tersakiti, bahkan rusak bila ruang-ruang publik kita terus dijejali dengan kekerasan, baik verbal maupun fisik, dengan memakai simbol-simbol keagamaan. Agama itu untuk manusia, sehingga semestinya agama mendorong proses pemanusiaan. 

Bukan sebaliknya, agama justru merongrong kemanusiaan. Kalau kekerasan dengan membawakan simbol-simbol keagamaan terus dipertahankan, maka agama akan kehilangan kredibilitasnya. Agama sendiri akan ambruk. 

Kaum radikalis agama mesti sadar bahwa agama tidak bisa ditegakkan dengan kekerasan. Itu justru jalan meruntuhkan agama itu sendiri. Semakin banyak orang akan bersikap antipati terhadap agama tersebut, bila merasa diri sebagai yang paling di antara yang lain. 

Sikap merasa diri sebagai yang paling itu pada akhirnya akan memecah-belah. Masyarakat tersegregasi. Negara dan bangsa pun akan terpecah. Akhirnya, Indonesia akan bubar. Semua ini dapat terjadi.

Karena itu, pertama, proses pencerdasan dalam agama mesti dilakukan. Orang beragama mesti memakai akal sehat. Jika ada pemimpin agama yang suka mengancam, menebar permusuhan dan kebencian, apalagi mendorong kekerasan, pemimpin tersebut tidak patut diikuti. 

Kedua, perjumpaan dan diskusi dengan tetangga yang berbeda keyakinan mesti terus dilakukan. Perbanyak teman, perdalam pengetahuan, supaya tidak gampang diadu-domba. Bangun dan luaskan semangat dialog, agar keyakinan yang berbeda bisa dipahami. Hal ini akan mendorong kerjasama-kerjasama yang lebih baik dan konstruktif.

Ketiga, politisi mesti berhenti memainkan politik SARA. Bermain terus dengan politik SARA, sama halnya dengan membuang api di jerami kering. Ruang publik dan negara kita akan hangus terbakar.

Keempat, pemerintah harus menjadi pengayom dan pelindung untuk semua. Tidak ada kelompok favorit atau anak emas. Semua harus ditempatkan sama dan sejajar di hadapan hukum. Bila melanggar aturan dan menciptakan kegaduhan, apalagi membuat onar, diadili sesuai hukum. 

Sejauh ini, tampaknya negara suka kalah dengan kaum intoleran dan radikal. Bukan pelaku kekerasan yang ditindak tegas, tetapi justru para korban yang diamankan. 

Ada apa? Mengapa negara seperti membiarkan kelompok tertentu berbuat sesukanya? 

Pemerintah mesti bertindak tegas sesuai dengan hukum supaya wibawa negara ini ada di mata masyarakat. 

Demi kemanusiaan, keutuhan bangsa, dan demi kredibilitas agama itu sendiri, pemerintah dan umat beragama/warga negara mesti mewaspadai dan mengantisipasi bahaya laten intoleransi dan radikalisme agama. Inilah api dalam sekam dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun