"Tak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan." Adagium ini sudah sangat popular. Ia memperlihatkan sisi kehidupan politik yang teramat cair.Â
Kemarin menjadi lawan. Hari ini menjadi kawan. Besoknya, jalan cerita bisa kembali berubah. Sangat dinamis.
Realitas politik yang demikian itu menuntut sikap rasional dan realistis. Jangan pakai hati! Atau, lebih tepatnya, "jangan baper," meminjam istilah anak zaman now.Â
Artinya, harus siap kecewa. Sebab, realitas politik itu terlalu licin. Seperti belut yang disiram oli, sulit dipegang. Saat kampanye ngomong A, ketika berkuasa melakukan B.Â
Dan, hal yang seperti itu sudah dianggap biasa. Kalau tidak begitu, bukan politik namanya. Itu sebabnya ada yang berpendapat bahwa politik itu kotor.Â
Namun, sekotor-kotornya politik, kita tidak bisa lari darinya. Makan-minum kita ditentukan oleh politik. Sekolah anak-anak kita juga diputuskan oleh politik. Nyaris semua hal dalam hidup ini diatur oleh politik. Bahkan, soal-soal Tuhan pun direkayasa secara politik.Â
Politik itu begitu total. Ia terkait dan membayangi semua aspek kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, politik perlu dijalani dan ditatap secara rasional dan realistis.
Bayangkan, ketika warga pro aktif dan berpartisipasi mengikuti serta mengawasi dinamika politik saja, hal-hal yang di luar dugaan dan tidak diharapkan bisa terjadi. Apalagi, kalau warga bersikap apatis?
Alamak! Rumah dan tanah warisan nenek moyangmu bisa-bisa akan dijual penguasa ke pengusaha. Masa depan anak-cucumu akan tergadaikan.Â
Jadi, berpolitik itu bukan lagi sebuah pilihan, tetapi keniscayaan. Namun, bagaimana menjalaninya?Â
Bersikap Rasional dan Realistik