Mohon tunggu...
Hari Hariadi
Hari Hariadi Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Riset dan Publikasi

Sarjana Ekonomi, Magister dalam Ilmu Manajemen. Bekerja sebagai karyawan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Promosi Tiada Arti

31 Oktober 2015   09:28 Diperbarui: 31 Oktober 2015   10:56 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Harian Kompas, 28 Oktober 2015, memuat cerita. Hiroki Yoshida, Manajer Utama Pusat Promosi Keselamatan Berkendara Honda Motors Co.. Yoshida menceritakan bagaimana warga Jepang diiajarkan prinsip berlalu lintas aman jauh sebelum bisa mengendarai kendaraan. Anak-anak Jepang terbiasa datang ke pusat-pusat pelatihan keselamatan berkendara sejak kecil. “Bahkan, ada simulasi untuk mereka. Kalau bisa berkendara dengan aman, mereka bisa mendapat SIM mainan setelah simulasi selesai," tutur Yoshida.

Produsen kendaraan bermotor, lanjut Yoshida, turut berperan mendorong keselamatan berlalu lintas. Peran produsen tidak hanya menyangkut penyediaan sarana transportasi, tetapi juga ikut membantu membangun budaya berlalu lintas yang aman. "Kami melakukan itu dengan menyediakan pelatih-pelatih keselamatan berkendara," katanya. Promosi oleh Honda dan banyak produsen otomotif lain memang sudah bertahun-tahun dilakukan. Namun, fakta angka kecelakaan tidak turun menunjukkan promosi keselamatan berkendara harus lebih gencar.

Apa yang dilakukan oleh produsen kendaraan bermotor seperti Honda untuk turut serta mempromosikan keselamatan berkendara dan berlalu-lintas tentu patut dihargai dan diacungi jempol. Hal yang sama pastinya juga sudah dilakukan di Indonesia.

Salah satu cara meminimalkan kecelakaan lalu lintas adalah dengan membudayakan tertib berlalu lintas. Sayangnya, meski promosi sudah cukup gencar, perilaku berlalu-lintas masyarakat Indonesia masih memprihatinkan. Untuk membuktikannya, tak perlulah kita melakukan riset dengan memakai metodologi yang ruwet. Lihatlah di jalan-jalan.

Betapa banyak pengendara yang menerobos lampu merah. Betapa banyak pengguna kendaraan pribadi yang menerobus jalur Bus Transjakarta. Dan betapa banyak pengendara sepeda motor yang lalai menggunakan helm. Apakah promosi masih kurang gencar?Yang lebih menyedihkan, tidak sedikit pelanggar-pelanggar lalu lintas itu yang memiliki harta berlimpah, memegang berlembar ijazah, dan berbekal gawai mewah.

Jawabannya terletak pada masih lemahnya penegakan hukum. Aturan-aturan yang mengatur perilaku masyarakat dalam berlalu-lintas rasanya sudah memadai, mulai bagi pejalan kaki hingga pengemudi dan pengguna kendaraan (baik umum maupun pribadi; roda dua, roda tiga, maupun roda empat). Sayangnya, aturan-aturan yang ada belum sepenuhnya ditegakkan. Kita kerap melihat penerobos lampu merah melenggang begitu saja tanpa ada sanksi. Kita kerap menyaksikan angkutan umum berhenti di sembarang tempat tanpa ada tindakan. Dan kita kerap memandang orang menyeberang jalan tidak di tempat yang telah disediakan tanpa ada yang menegur.

Di samping penegakan hukum, kejujuran harus menjadi tabiat yang melekat kuat. Di Jepang, seperti diceritakan oleh Mahmudi dan Edo, dua Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah lama tinggal di Negeri Sakura, jangan harap memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) jika tidak mahir berkendara (Kompas, 28/10). Jika ingin mahir, harus serius ikut kursus hingga lulus. Jika tidak lulus, ya tidak boleh duduk di depan kemudi dan menyetir. Ini berlaku bagi semua orang. Tidak ada pelican dan amplop. Di Indonesia?Sila amati dan jawab sendiri. Yang jelas, banyak pengemudi yang tidak paham aturan dan makna rambu lalu lintas.

Disiplin berlalu-lintas harus ditegakkan dengan keras. Disiplin dalam konteks ini mengandung dus pengertian. Pertama, tata tertib. Dan kedua, kepatuhan pada peraturan. Sikap disiplin ini harusnya timbul dari kesadaran dalam diri, bukannya dipaksa dari luar. Disiplin harus ditanamkan sejak dini, yaitu sejak masa anak-anak.

Egoisme juga menjadi akar kesemrawutan lalu lintas, yang kerap berujung pada terjadinya kecelakaan. Orang yang egois tidak mempedulikan orang lain, melainkan hanya mementingkan diri sendiri. Banyak pengendara motor yang seenaknya menaiki trotoar sehingga menyerobot hak pejalan kaki. Ia tidak peduli bahwa pejalan kaki pun butuh ruang (space) untuk berjalan. Yang penting ia bisa cepat sampai ke tujuan. Biar sajalah orang lain yang tidak punya tempat untuk berjalan. Sebagai orang yang sering berjalan kaki, penulis kerap mengalami hal ini.

Jadi, promosi untuk keselamatan berkendara memang penting. Meski demikian, hal tersebut tidaklah cukup. Tertib berlalu lintas harus dibudayakan. Caranya dengan menegakkan peraturan; menanam dan memelihara kejujuran dan disiplin; dan membuang egoisme. Kesemuanya harus dipupuk sejak dini. Tanpa itu, promosi tetap hambar tanpa makna.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun