Beberapa hari lalu, harian Kompas menurunkan tulisan tentang buruknya fasilitas umum di Jakarta, khususnya sarana dan prasarana transportasi publik. Selain armada dan pelayanannya banyak menuai keluhan, fasilitas halte, jembatan penyeberangan dan trotoar pun mengecewakan. Bahkan, fasilitas publik itu jauh dari kata ramah bagi orang tua dan penyandang disabilitas. Empati terhadap warga yang lemah dan penyandang disabilitas juga nyaris nol.Dalam berita itu, dimuat kisah seorang tua yang terlihat kelelahan menaiki tangga berundak-undak yang curam di jembatan Halte Karet, Sudirman, Jakarta Pusat. Tiap anak tangga berjarak 15-20 cm. Untuk mencapai puncak jembatan, orang tua itu harus menaiki 10 anak tangga. Fasilitas akses menuju angkutan umum juga belum mengakomodasi kebutuhan kaum difabel. Tangga halte yang berundak-undak, tanpa sarana atau jalur yang melandai (ramp), menyulitkan warga yang menggunakan kursi roda.
Indonesia memang bukan negara yang ramah terhadap warganya yang cacat. Agaknya ada anggapan bahwa orang cacat tidak perlu melakukan berbagai aktivitas seperti halnya orang normal. Mereka tinggal duduk manis dan menunggu belas kasihan orang lain. Benarkah demikian?
Penulis ingin menceritakan pengalaman pribadi penulis. Sejak lahir, penulis mengalami gangguan penglihatan yang sifatnya permanen. Akibatnya, penulis tidak bisa melihat gambar atau tulisan kecuali dari jarak yang ekstra dekat.Saat duduk di bangku sekolah, penulis tidak bisa membaca tulisan atau melihat dengan jelas gambar yang terpampang di papan tulis dari jarak normal.Akibatnya penulis kerap terlambat menerima pelajaran yang diberikan guru khususnya untuk pelajaran-pelajaran yang materinya harus banyak dituliskan di papan tulis semisal matematika. Penulis bisa menggunakan kacamata, namun hal ini tidak banyak membantu.
Sayangnya,hanya sedikit guru-guru penulis yang memahami kondisi ini.Banyak dari mereka yang menganggap penulis malas menggunakan kacamata. Maka tak heran penulis sering menjadi sasaran kemarahan sebagian guru.Namun penulis tidak mau menyerah. Meski mengalami gangguan penglihatan, penulis yakin mampu mengikuti pelajaran yang diberikan di sekolah. Keyakinan ini bukan tanpa alasan. Meski penglihatan kurang terang, namun bila dijelaskan secara verbal dan lebih personal, penulis sangat mudah memahami pelajaran. Di samping itu, sejak kecil penulis sangat gemar membaca. Kebetulan orang tua penulis adalah pelanggan beberapa surat kabar dan majalah. Penulis juga seorang pendengar yang baik.
Berbekal ketiga hal inilah, ditambah inisiatif dari orang tua untuk memberikan les, penulis dapat lebih mudah mengikuti pelajaran di sekolah. Penulis juga harus berterima kasih kepada guru-guru les penulis, yang ternyata sangat kompeten. Puncaknya, penulis berhasil menjadi salah satu lulusan terbaik di Sekolah Menengah Atas (SMA). Beberapa tahun kemudian, penulis berhasil diterima di salah satu sekolah pascasrjana terbaik di negeri ini. Saat ini, penulis bekerja sebagai penulis di sebuah perusahaan swasta.
Kisah penulis tidak sedramatis kisah orang-orang lain penyandang disabilitas yang meski menghadapi keterbatasan fisik namun mampu mencetak prerstasi-prestasi fenomenal. Namun satu hal yang jelas, pemyandang disabilitas juga punya potensi, yang bila dimanfaatkan dengan optimal akan dahsyat dampaknya baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Mereka dapat melakukan hal-hal yang tak kalah hebatnya dengan orang-orang normal. Hanya untuk mencapai hal itu, mereka memerlukan perlakuan dan fasilitas khusus yang tidak sama dengan orang-orang biasa. Tugas orang-orang di sekitar merekalah untuk memberikan dan menyediakan fasilitas khusus itu. Tujuannya tak lain adalah agar mereka tetap bisa memanfaatkan potensi yang mereka miliki. Bila sudah sampai tahap ini, keberhasilan atau kegagalan yang bakal diraih bergantung kepada masing-masing individu.
Jadi keliru jika penyandang disabilitas dikasihani dan dilindungi secara tidak proporsional (overprotecting).Tugas pemerintah, masyarakat, dan orang-orang terdekat adalah memberikan fasilitas khusus sehingga mereka dapat berkarya dengan leluasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI