Kelas menengah adalah kelompok yang paling terkena dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Demikian kira-kira dikatakan Yudi, seorang pengendara motor sekaligus karyawan swasta menyikapi kenaikan BBM, seperti diberitakan laman www.kompas.com. Berbeda dengan kelompok masyarakat miskin, kelompok kelas menengah memang tidak mendapatkan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Padahal mereka juga harus menanggung dampak maiknya harga-harga barang. Tabungan yang mereka miliki nilainya juga makin menyusut.
Namun, Yudi, seperti banyak orang, ikut menyadari bahwa tujuan kenaikan harga BBM ini sebenarnya baik, asal alokasi subsidi benar-benar dialihkan untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan rakyat banyak.Sebuah harapan dari banyak orang tentu saja. Harapan yang harus dijaga baik-baik agar tetap hidup. Tidak mudah memang, tetapi tentu bukannya tak mungkin. Apalagi bila ditiupkan oleh pembuat kebijakan yang amanah. Jika demikian, seperti kata pepatah, orang akan bersedia “berakit-rakit ke hulu” sebelum “berenang-renang ke tepian”.
Menurut definisi Bank Dunia, kelas menengah adalah orang-orang yang menghabiskan uangnya sejumlah 2 Dollar AS (sekitar Rp 24.000) hingga 20 Dollar AS (sekitar Rp 240.000) per hari. Merekalah motor penggerak konsumsi domestik, yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan naiknya harga BBM, banyak yang mengeluh karena semuanya menjadi lebih mahal.
Tulisan ini tidak akan mengulas perdebatan seputar pro kontra kenaikan harga BBM. Bagaimanapun, keputusan telah dibuat. Argumentasi banyak pakar yang mengatakan bahwa subsidi BBM kebanyakan dinikmati oleh orang-orang kaya agaknya dapat diterima. Yang terpenting adalah bagaimana kelompok kelas menengah ini mengatur ulang pola konsumsi mereka. Jangan sampai kelas menengah terjebak pola hidup konsumtif. Dalam berbelanja, mereka harus lebih mengutamakan kebutuhan, bukan keinginan.
Sayangnya, banyak yang belum bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan.Orang butuh pasti menginginkan sesuatu, namun orang yang menginginkan sesuatu belum tentu membutuhkan sesuatu itu. Komsep dasar dari kebutuhan adalah sesuatu yang mutlak harus dipenuhi oleh seseorang agar dapat tetap hidup di permukaan bumi ini. Kebutuhan tidak bergantung kepada lingkungan sosial tempat seseorang hidup, melainkan sudah melekat secara alami. Jika kebutuhan tidak dipenuhi, manusia akan mati. Contoh-contoh dari kebutuhan adalah makannan, air, udara, pakaian, dan tempat tinggal.
Seiring perkembangan zaman, konsep mengenai kebutuhan ini mengalami perkembangan. Pengertian kebutuhan tidak lagi dibatasi pada kebutuhan fisik untuk sekedar bertahan hidup. Hidup juga tidak lagi sekedar dimaknai dan dikaitkan dengan raga. Sebagai contoh, bagi kelas menengah, mereka tidak bisa hidup tanpa didampingi teknologi komunikasi, yang memang harus ada demi menunjang pekerjaan-pekerjaan mereka. Contoh lain adalah pendidikan. Saat imi kebutuhan akan pendidikan berkualitas tidak bia lagi ditawar-tawar. Tanpa pendidikan, mustahil seseorang bisa bertahan dan meningkatkan taraf hidup. Orang bisa tergilas sewaktu-waktu. Berkaitan dengan kebutuhan ini, banyak orang membagi kebutuhan menjadi tiga, yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Sedangkan keinginan adalah kebutuhan ditambah hasrat untuk memperoleh kepuasan yang lebih spesifik dari kebutuhan itu. Misalnya, orang tidak sekedar butuh makan, tapi ingin makan nasi goreng, mie goreng, bakso, dan sebagainya. Orang butuh berkomunikasi tapi ingin menggunakan telepon pintar merek tertentu. Berbeda dengan kebutuhan, keinginan bisa timbul akibat pengaruh lingkungan sekitar. Misalnya orang ingin membeli mobil baru setelah melihat iklan. Atau orang memakai baju merek tertentu agar kelihatan lebih berkelas.
Kebutuhan harus diutamakan, sedangkan keinginan harus dikendalikan (bukan dikekang). Yang terakhir inilah yang kadang-kadang sulit dilakukan. Banyak kelompok menengah yang membelanjakan uangnya hanya untuk memenuhi hasrat jangka pendek, semisal tergiur potongan karga, model yang bagus, ingin menaikkan gengsi dan sebagainya. Padahal belum tentu mereka membutuhkan barang-barang tersebut. Uang untuk memuaskan keinginan tentu lebih baik digunakan untuk hal-hal yang produktif dan bersifat jangka panjang.
Jadi kebutuhan sama sekali tidak boleh dan tidak mungkin ditinggalkan. Sedangkan kebutuhan tidak demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H