Mohon tunggu...
Hari Hariadi
Hari Hariadi Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Riset dan Publikasi

Sarjana Ekonomi, Magister dalam Ilmu Manajemen. Bekerja sebagai karyawan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

PAM dan PLN Tak Berterimakasih?

24 Januari 2015   04:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:29 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, pasokan air dari Perusahaan Air Minum (PAM) ke tempat kami mengalami gangguan. Akibatnya kami mengalami kesulitan dan ketidaknyamanan.Maklumlah. Bukankah air adalah kebutuhan vital bagi manusia?

Kami tentu kesal dengan PAM. Namun kemudian timbul pikiran dalam benak saya: Pernahkah kita berterima kasih pada PAM saat pasokan air mengalir lancar? Hal yang sama juga berlaku pada Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang saat ini masih sebagai satu-satunya penyedia listrik bagi masyarakat. Kita kerap marah-marah saat listrik padam. Tentu saja. Banyak pekerjaan jadi terganggu. Namun saat kita masih bisa membaca di bawah sinar lampu, masih bisa menyetrika pakaian dengan setrika listrik, masih bisa menonton televisi, dan masih bisa mengisi baterai telepon pintar kita, pernahkah terpikir oleh kita untuk mengirimkan ucapai terima kasih kepada PLN?

Barangkali kita akan menjawab: Lho, bukankah itu menjadi kewajiban PAM dan PLN?Apa yang harus dipuji dan dihargai berlebih dari pihak-pihak yang memang sudah seharusnya menjalankan kewajibannya?

Penulis lantas teringat dengan sebuah teori yang pernah dikemukakan oleh seorang psikolog bernama Frederick Herzberg. Teori yang dikenal dengan sebutan Teori Dua Faktor ini berkaitan dengan kepuasan kerja. Sederhananya, menurut teori ini seorang karyawan umumnya tidak akan tidak puas bila hanya diberikan fasilitas-fasilitas seperti gaji, bonus, tunjangan kesehatan, dan sebagainya. Artinya bila sebuah perusahaan lalai memenuhi kewajibannya dalam menyediakan hal-hal tersebut, karyawan tentu akan ribut. Namun bila diberikan, karyawan tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang luar bisasa lantaran hal tersebut memang sudah seharusnya diberikan oleh perusahaan. Tidak jarang kewajiban-kewajiban seperti gaji dan tunjangan ini diatur secara rinci oleh pemerintah. Dengan kata lain, karyawan akan bersikap biasa-biasa saja. Herzberg menyebut faktor-faktor seperti gaji, bonus, tunjangan kesehatan, dan sebagainya itu sebagai faktor higienis. Herzberg memeringkat factor hihienis ini berdasarkan tingkat kepentingannya, yaitu kebijakan perusahaan, pengawasan, hubungan karyawan dengan atasan, kondisi kerja, gaji, dan hubungan antar rekan kerja.

Berbeda dengan faktor higienis, faktor motivasi adalah sumber kepuasan sejati dan kebanggaan. Jika faktor ini tersedia, seseorang akan lebih bersemangat bekerja., lebih produktif, dan bangga menjadi bagian dari organisasi. Ujung-ujungnya, orang akan melakukan lebih dari yangt disyaratkan atau diminta. Yang tergolong kedalam faktor motivasi adalah hal-hal yang sifatnya “memanusiakan manusia”. INgatlah manusia tidak sekedar membutuhkan materi, melainkan juga butuh menunjukkan jati dirinya. Maslow menyebutnya sebagai kebutuhan untuk memiliki kehormatan diri dan peluang untuk mengaktualisasikan diri. Buat apa bergaji besar namun diperlakukan layaknya robot yang telah diprogram untuk hanya sekedar menuruti perintah atasan tanpa peduli perasaan?Sedangkan kalau salah dimarahi habis-habisan.

Biasanya teori dua faktor ini digunakan dalam konteks hubungan antara perusahaan dan karyawan yang dipekerjakannya. Meski demikian, agaknya teori ini dapat digunakan dalam konteks hubungan antara penyedia jasa/produsen dengan pelanggannya. Pelanggan akan marah jika mendapat pelayanan buruk. Namun mereka akan merasa biasa biasa-saja bila perusahaan telah memberikan layanan yang tidak buruk. Mereka hanya akan merasa puas bila mendapat pelayanan istimewa.

Teori dua faktor berangkat dari kondisi dunia bisnis?Dalam hal-hal yang bersifat non bisnis, apakah kita harus memiliki sikap yang sama?Misalnya apakah kita tidak perlu berterima kasih kepada oreang tua yang telah merawat kita dari kecil lantaran hal itu sudah sewajarnya dilakukan orang tua?Tentu saja tidak. Di luar dunia bisnis, apa-apa saja yang dilakukan secara rutin namun didasari hati yang tulus harus dihargai. Jangan pernah menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Berbagi dengan tulus akan yang mengantarkan kita kepada kebahagiaan.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun