SEBUAH CORETAN DI PENGHUJUNG ERA SBY #selalu ada pilihan by: Hari Firmansyah 2004 adalah awal tonggak bersejarah dalam proses pemerintahan Republik Indonesia. Untuk pertama kalinya setelah 59 tahun merdeka rakyat Indonesia dapat memilih lansung pemimpin negaranya. Munculah seorang tokoh fenomenal saat itu. Seorang pensiunan TNI yg dianggap dapat mengangkat derajat bangsa Indonesia setelah transisi era. Susilo Bambang Yudhoyono, atau biasa di SBY. Dipundak beliau lah harapan dan cita-cita 250jta rakyat diembankan. Lewat mesin politik baru yg dia ciptakan mengantarnya menduduki kursi RI 1. Saat itu, saya berfikir tidak ada lagi tokoh di Indonesia slain Yusril Ihza Mahendra dan Amien Rais yg pantas mengisi pos tersebut. Kehadiran sosok SBY yg gagah dan berwibawa menjadi sangat fenomenal. Sefenomenal Jokowi saat ini. Latar belakangnya yg seorang militer membuat rakyat terhipnotis dengan gaya kepemimpinan yg tegas. Kini, 9 tahun sudah berlalu. Dan dalam hitungan bulan Pak SBY akan benar-benar angkat kaki dari istana presiden. Berbagai coretan tentang masa kepemimpinan beliau mulai menghiasi berbagai media. Baik itu televisi, cetak, dan on line. Dan rata-rata komentar yang keluar adalah negatif. Saya pun mulai bertanya. Seperti inikah sikap penghuni Republik ini menghargai pengorbanan seseorang? Memang tidak dapat dipungkiri kecacatan pemerintahan SBY terlihat di penghujung era. Atw dalam istilah sepakbola saat 'injury time'. Kebobolan disaat-saat injury time adalah kekalahan yg sangat menyakitkan. Pemerintahan SBY dihantam badai yg tak terhenti. Kebijakan menaikkan harga BBM yg diikuti melonjaknya harga bahan pokok. Badai korupsi yg menghantam mesin politiknya dan mulai merembes ke krabat dekat bahkan keluarga. Hingga sikap berkeluh kesah yg di blow up media. Yang menarik dianalisa adalah bagaimana kasus korupsi ditanah air ini mulai bermuara ke lingkaran terdekat SBY. Dan satu pertanyaan saya. Apakah beliau benar-benar pantas dijadikan kambing hitam? Bagi saya, hanya satu faktor yg menyebabkan ini semua. Yaitu, ketidak siapan untuk menjadi orang besar. Sebuah untaian kata yg dari siapa saya lupa tokohnya berkata seperti ini,"Untuk menilai seseorang jangan dilihat dari bagaimana dia bertahan dan menjalani hidup yg sulit. Tapi, berilah dia jabatan dan kekuasaan." inilah yang terjadi saat ini. Bagaimana Demokrat dan kerabat dekat Presiden sejatinya belum siap untuk menjadi orang-orang besar. Ketidak siapan itupun terbukti dengan bertumbangannya kader-kader Demokrat di tangan KPK. Fasilitas mewah, kemudahan, dan kekuasaan membuat mereka lupa diri sehingga menghamba pada Gratifikasi. Proyek apapun yg dibuat dapat dilaksanakan oleh siapa yg memberi amplop lebih tebal. Sbuah kemudahan untuk memenuhi tujuan duniawi. Apakah hanya sampai disitu cobaan yg dirasakan SBY?? Tentu saja tidak. Cobaan yg paling sulit membuat SBY benar-benar harus menentukan pilihan adalah saat putra mahkota dan permaisuri mulai terseret aliran korupsi. Jikalau yg terseret adalah Anas, Andi, Anggi, atw Nazarudin. Tak menjadi persoalan. Toh, mereka bukan siapa-siapa. Tapi kalau keluarga dekat sperti anak dan istri. Inilah sulitnya. Lagi2 faktor ketidaksiapan menjadi besar yg jadi dalangnya. Membuat SBY harus benar2 membuat pilihan. Jika Demokrat hancur, maka hancur lah. Tak ada efek yg ditimbulkan setelahnya. Tapi, jika itu menyangkut nama baik keluarga. Tujuh turunan akan kena imbasnya. SBY mempelajari ini dari keluarga Soekarno. Bagaimana anak keturunan Soekarno tersiksa akibat dosa yg dilakukan sang ayah. Dan SBY tak mau hal ini terjadi pada keturunannya. Siapapun orangnya akan lebih mementingkan kepentingan keluarga diatas sgalanya. Untuk itulah SBY memback up habis-habisan keluarganya agar tetap terlihat bersih demi kelansungan hidup anak cucunya. Ya, selalu ada pilihan. Dan SBY telah menentukan pilihannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H