Baru saja kopi kuseduh dalam gelas keramik. Setelah diaduk sebentar dengan sendok besi, kopi kucicip dari pinggir kelas. O iya, tak lupa kutambahkan dua sendok gula pasir. Slurrrp, kurasakan sensasi hangat-hangat basah. Aku mulai ketagihan, kucicip dan kujilat lagi lelehan kopi dari pinggur gelas. Sensasi hangat-hangat basah telah buatku ketagihan.
Hangat-hangat basah kadang tak mengenakkan, bagai mengenakan pakaian yang baru selesai dicuci pada cuaca panas. Namun hangat-hangat basah juga kadang diinginkan. Cobalah seduh kopi dengan air hangat, maka kau akan dapatkan sensasinya. Selamat berakhir pekan, selamat menikmati sensasi hangat-hangat basah. Berdua atau sendirian, sama saja.
Cerita tentang kopi, hidupku yang bergelimang kesenangan (eish, hahaha) ini tak lepas darinya. Sejak orok, mamaku mungkin minum bergelas-gelas kopi per hari. Begitu pula papaku. Kopi yang diseduh di rumah bukanlah kopi yang berlabel, berstandar, bahkan tak pula bersertifikat halal dari MUI. Hanya kopi biasa, kopi yang disangrai dan digiling di pasar dekat rumah. Kopi yang diproduksi di samping tempat penjagalan sapi!
Sebelum matahari terbit, kopi dengan asapnya yang mengepul pasti sudah tersedia di meja depan televisi. Seperti perempuan di kampung pada umumnya, mamaku selalu menyajikan kopi untuk papa dalam gelas keramik tanpa motif. Kopi pahit beraroma pekat dengan rasa manis yang tak ketara.
Sambil menyiapkan sarapan, mama berteriak-teriak dari dapur tuk bangunkan anak-anaknya. Ah, suasana yang dirindukan jika aku besar nanti!
Kopi tak sekadar minuman hangat. Bagi orang-orang Melayu yang tinggal di pesisir barat Kalimantan, menyajikan kopi pada tamu adalah sebuah keharusan dan menerima sajian kopi dari tuan rumah adalah sebuah kehormatan. Begitu tingginya penghargaan pada benda pahit dan hangat ini, maka timbul sebuah ungkapan bagi orang Melayu yang menyatakan bahwa mereka bekerja untuk mballi gulle kopi . Padahal bekerja tak hanya untuk membeli gula dan kopi kan?
Ketika rapat di balai kampung, ketika bercengkerama dengan teman sebaya, bahkan ketika bertandang ke rumah mertua, kopi selalu disajikan. Penyajiannya pun pelbagai macam. Ada yang menyajikan kopi dalam gelas kaca, dalam gelas logam, dalam gelas keramik, bahkan ada dalam gelas pelastik. Bagi orang-orang pesisir barat Kalimantan, menyajikan kopi untuk tamu dalam gelas pelastik adalah seburuk-buruk penyajian. Sesuai dengan pengalaman dan pengindraanku, kopi paling tepat disajikan dalam gelas keramik. Aku tak punya alasan khusus untuk ini. Sederhana saja, gelas keramik yang tebal tak membuat hangat kopi cepat hilang. Lapisan keramik yang mengilat membuat kopi lebih beraroma!
Penyajian kopi yang apik membuat penikmatnya menyeruput perlahan, pelan, sambil membaui asapnya yang mengepul-ngepul ke udara. Ah, meminum kopi memang bukan ritual sembarangan ya?
Selain disajikan di rumah, kopi juga dijual di warung-warung. Bahkan ada warung yang dinamai khusus dengan kopi. Sebut saja warung kopi Yogya dan warung kopi Galunggung yang berada di Kelurahan Kotabaru, Pontianak. Dulu, warung kopi hanya diisi oleh bapak-bapak yang telah berumur. Namun sekarang berubah. Warung kopi telah menjadi tempat nongkrong yang menyenangkan dan dinikmati anak muda. Minuman pun tak kopi saja, mulai minuman dingin, jus buah, hingga paket internet gratis pun tersedia. Bahkan, di beberapa warung kopi di Jalan Gajahmada Pontianak, sejak pagi hingga malam selalu dipenuhi anak muda. Ah, nongkrong di warung kopi sambil menyeruput kopi memang menyenangkan. Apalagi jika ditemani orang yang disayang, mungkin suasananya bagai di surga tingkat ketujuh.
Mungkin ada yang masih alergi dengan kopi. Saranku, selama kopi masih murah dan mudah diperoleh, tobatlah dari membenci dan alergi pada kopi. Jika agamawan bersusah payah mencapai surga dengan peribadatan yang rimet dan njlimet, tak ada salahnya di dunia ini kita dapatkan surga melalui tetes-tetes air kopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H