Mohon tunggu...
Masyhari Kranji
Masyhari Kranji Mohon Tunggu... -

Berasal dari Kranji, sebuah kampung di pesisir utara Lamongan. Pernah singgah 9 tahun di DKI Jakarta, dan kini tinggal di Cirebon. Alumni Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji, LIPIA Jakarta 2010, Pasca IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2014. Saat ini aktif mengajar intensif bahasa Arab di PPB IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Blog: Mengaisembun.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita dari Tator: Tana Toraja, teladan dalam keamanan

23 Juli 2014   05:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:31 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini (22/07/2014), di sebuah acara takziah di rumah seorang jamaah masjid yang meninggal tiga hari yang lalu, saya dipertemukan dengan seorang tetangga Muslim dari Suku Toraja asli, sebut saja Pak Usman (PU). Di waktu yang cukup singkat itu, pria baya berusia sekitar 60an itu ni bercerita panjang lebar, tentang banyak hal, berkisah tentang kehidupan keluarga besarnya, adat, kearifan lokal orang Toraja, hingga cerita liburan sekeluarga berkeliling Jawa dari Jawa Timur Hingga Jakarta lebih dari sebulan lamanya. PU berkisah, bahwa ia enam bersaudara, sementara kedua orang tuanya dulu berkepercayaan animisme. Oleh mereka, ia adalah enam bersaudara diberi kebebasan antara masuk Islam atau Kristen. Alhasil, 3 di antaranya masuk Islam dan 3 lagi masuk Kristen.

“Orang Toraja ini kuat sekali ikatan persaudaraannya. Tidak pandang agamanya. Kalau ada saudara yang membutuhkan, langsung saja tanpa pikir panjang.” Kisahnya dengan semangat dan penuh syukur.

“Dalam cara kematian. Tahu tidak, kira-kira berapa besar uang yang mereka keluarkan? Uang 2 Miliar tidak ada apa-apanya. Kerbau yang dikorbankan saja, 1 ekor bisa menembus angka 1 M. Belum lagi babi. 1 ekornya bisa seharga 10 juta. Pesta kematian bisa berlangsung hingga 6 hari. Bisa dibayangkan berapa uang yang harus mereka keluarkan, bila setiap harinya harus menjamu tetamu dari keluarga yang berjumlah ribuan orang! Namun, mereka saling bantu-membantu. Ada yang menyumbang kerbau, dan lain sebagainya.” ungkapnya berapi-api.



“Yang tiadanya duanya, di Tana Toraja, bisa dikatakan sangat aman. Hampir dikata tidak pernah terjadi pencurian kendaraan. Mobil dan motor yang diparkir di pinggir jalanan sepanjang malam, aman-aman saja. Tak usah jauh-jauh dibandingkan dengan di Jawa. Di Makassar saja, motor ditinggal 2 jam, sudah raib.”

Saya akui, memang dalam hal ini, Tana Toraja patut saya acungi dua jempol. Kalau perlu jadi daerah teladan soal keamanan. Kisah ini kontras dengan yang terjadi di Jawa. Apalagi kisah beberapa tahun lalu, saat masih mengajar di Cijantung Jakarta Timur. Begitu pula kisah hilangnya motor tetangga di Jaksel yang diparkir di samping rumah, padahal baru ditinggal beberapa menit saja ke dalam rumah. Dan masih banyak kisah lainnya. Di Jakarta atau di tempat lainnya, motor di parkir di halaman masjid, dikunci ganda plus gembok, baru ditinggal shalat sudah raib.

Lihat saja gambar di bawah ini, setiap hari, baik siang ataupun malam, motor-motor ini di parkir di samping masjid, tempatku bertugas, dengan hanya dikunci depan saja. Namun, belum pernah dengar cerita ada yang hilang.

1406042755724625449
1406042755724625449


“Lalu, apa kira-kira yang mendasari orang-orang Toraja ini, pak. Adat atau bagaimana?” Tanyaku penasaran.

“Ya, kekuatan iman mereka kepada Sang Penciptanya, tanpa pandang agama yang dianutnya.” Jawaban beliau menutup perjumpaan singkat kami malam ini. Karena waktu sudah larut, sekitar pukul 10 malam,sementara besok pagi-pagi harus bangun makan sahur.

Kisah ini mengingatkan saya pada pemandangan yang kulihat beberapa pekan yang lalu saat berkeliling ke Tana Toraja. Bila dilihat dari rumah yang mereka tinggali, rerata sangat sederhana dan bahkan bisa dikatakan jelek. Tapi, ternyata tongkonan (bangunan dengan atap khas Toraja), sangat megah dan mewah dibangun dengan menghabiskan dana yang besar. Begitu pula dengan pesta kematian yang mereka adakan. Untuk menyiapkan tempat pestanya, mereka buat beberapa rumah tongkonan selama beberapa pekan, dan setelah upacara usai, bangunan itu mereka tinggalkan begitu saja, hingga rusak sendiri. Ini menandakan kekuatan ‘iman’ mereka dalam berkepercayaan, tak peduli apakah itu berasal dari mitos ataukah kitab suci.[]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun