Tentunya, dalam melakukan aktifitas apapun, seseorang semestinya memiliki motivasi atau tujuan tertentu. Motivasi ini penting. Sebab, motivasi sedikit banyak akan mempengaruhi perjalanan aktifitas tersebut. Motivasi ini bisa dikatakan sebagai “niat”, dimana dalam Islam, dianggap sebagai penentu “status” sebuah aktifitas. Motivasi akan menemani dan menggerakkan kaki untuk selalu melangkah secara kontinyu, dan membangkitkan semangat di saat seseorang dilanda kemalasan. Ini tidak terkecuali dalam hal tulis-menulis.
Apa sih yang membuatku, kamu dan kita semua harus menulis? Tentunya masing-masing punya tujuan dan alasan yang bisa jadi berbeda satu sama lain. Bisa jadi, ada seseorang menulis supaya menjadi terkenal, banyak penggemar, banyak yang mengincar dan mudah dapat pacar. Bisa saja ada yang menulis, supaya naik jabatan, dan lain sebagainya.
Namun, tujuan menulis bagiku sederhana saja, yaitu:
Pertama, dokumentasi. Menulis berarti merekam dan mendokumentasikan sesuatu yang dituliskan, baik itu cerita, ide-gagasan, pandangan, pemikiran, informasi, ilmu, perasaan, kesan, dan lain sebagainya. Tentunya, di dunia ini, banyak hal penting yang kita lewati, baca, lihat dan rasa, bila tidak ditulis, besar kemungkinan akan hilang percuma. Hidup adalah perjalanan dan pengembaraan. Sangat sayang kan, bila perjalanan menyenangkan dan mengesankan itu terlupakan begitu saja.
Berbeda bila semua itu ditulis, ia akan tetap ada. Tulisan laksana tali pengikat binatang buruan yang telah ditangkap. Bila tak diikat, ia kan lepas, hilang begitu saja, percuma kita menangkapnya. Barangkali, suatu ketika, kita buka-buka kembali tulisan yang pernah kita tuliskan, kisah-kisah penting masa silam akan kembali datang, untuk menjadi pelajaran, renungan atau sekedar kenangan.
Bayangkan saja, andai saja Al-Qur’an tidak dituliskan, niscaya yang diandalkan hanya sebatas hafalan, yang terbatas pada kehidupan seorang penghafalnya. Bila ia mati, hilang pulalah hafalannya. Begitu juga dengan usaha penulisan hadits Nabi. Kita, manusia abad modern masih bisa membaca hadits-hadits tersebut karena dituliskan.
Kedua, eksistensidiri. Anda masih ingat, Gus Ulil Abshar Abdalla, pertama kali namanya terkenal dan membuat heboh dunia persilatan, setelah tulisannya bertajuk “menyegarkan kembali pemahaman Islam” pada tahun 2002 muncul di Harian Kompas, dan menjadi polemik di masyarakat. Sebelumnya, bisa dibilang, koordinator JIL ini tidak (begitu) dikenal oleh khalayak. Beberapa pekan terakhir (Oktober 2015), setelah namanya hampir terlupakan, Gus Ulil muncul kembali di media sosial fb dengan pengajian malamannya yang membahas kitab al-Hikam. Sambutan “hangat” banyak bermunculan dari “pengikut” fp tersebut.
Ketiga, tulisan adalah usiakedua. Menulis berarti terus mengada, bukan hanya bukti atas eksistensi. Jatah hidup manusia di dunia ini terbatas usia. Tak tahu pula lah kita kan hidup sampai usia berapa. Dengan menulis, berarti kita telah membuat usia kedua, usia yang abadi selama tulisan itu masih ada. Walau penulisnya telah terkubur di dalam tanah, tulisan itu kan menjadi penggantinya, membuatnya hidupnya abadi. Bahkan, bila isi tulisan kita berisi kebaikan, bermanfaat bagi pembaca, lantas diamalkan, niscaya pahala atas kebaikan itu akan terus mengalir, walau tulisan itu dari dunia telah tersingkir. So, tulisan merupakan sedekahjariyah.
Keempat, menulis adalah hiburan. Bagi yang terbiasa menulis, aktifitas menulis merupakan hiburan yang amat melegakan dan menyegarkan. Bila sehari tidak menulis, rasanya ada sesuatu yang kurang.
Kelima, melatih berlogika secara sistematis dan rapih. Bersambung...