Beberapa waktu yang lalu, saya melakukan terapi kepada seorang pemuda berusia 26 tahun yang mengakui memiliki kelainan persepsi seks-nya. Istilah kekiniannya adalah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Pemuda ini adalah klien LGBT saya yang kesekian, dimana setiap kali berhadapan dengan penderita kelainan persepsi seks ini, perasaan saya yang muncul selain miris, kasihan juga mesti berhati-hati. Miris mengingat perilaku yang mampu mereka lakukan yang di mata kita adalah sebuah perbuatan yang tidak masuk akal, masak jeruk makan jeruk! Kasihan karena mereka ini sebenarnya adalah korban pembajakan pikiran bawah sadar yang membuat persepsi seks mereka menyimpang. Dan saya mesti berhati-hati dalam melakukan terapi kepada seorang gay, karena sebuah proses hipnoterapi biasanya menyisakan perasaan nyaman kepada klien. Jangan sampai saking nyamannya, alih-alih dia terterapi, bisa-bisa malah merasa nyaman terhadap terapisnya. Iiiiih..., emangnya eike cowo apaan!
Setelah berbasa-basi sejenak, saya kemudian minta dia menggambarkan situasi dirinya sekarang. “Saya merasa memiliki kelainan sex Pak Hari. Meski belum sampai melakukan tindakan yang dilarang agama, namun hal ini cukup membuat diri saya galau. Saya lebih tertarik bila melihat cowok ganteng, dibandingkan cewek cantik. Apalagi kalau cowok itu bertelanjang dada”
Dan sudah menjadi prosedur saya dalam melakukan sebuah terapi untuk meminta klien membuat goalnya dulu. Biasanya saya akan memandu mereka dengan teknik Miracle Question sbb: “Jika seandainya nanti malam ketika Anda tertidur terjadi sebuah keajaiban, bagaimana kira-kira kondisi diri Anda besok pagi?” Jawaban dari pemuda tadi adalah, “Saya adalah seorang pemuda macho dan perkasa yang memiliki hasrat, ketertarikan seks dan mampu melakukan hubungan seks dengan lawan jenis”
Bagus. Dengan panduan seperti ini maka klien langsung kita ajak untuk berfokus pada masa depannya. Pada solusi, bukan masalahnya. Maka tugas saya sebagai terapis adalah mencarikan jalan agar goal pemuda tadi segera tercapai.
Namun sebelum membantu mencarikan jalan keluar, saya perlu mencari tahu dulu penyebab terjadinya penyimpangan persepsi sex ini. Saya pernah membaca artikel yang menyatakan bahwa semua kejadian LGBT adalah in chance (karena lingkungan), mematahkan pendapat kaum itu sendiri yaitu in born (bawaan lahir). Semua bayi terlahir di dunia ini netral dan normal. Pernahkan Anda melihat ada bayi pria dan perempuan dimandikan bareng dan bayi pria atau perempuanya terangsang? Tidak pernah bukan? Ya, karena hasrat seksual sesorang muncul bersamaan dengan kematangan organ reproduksi serta mental spiritualnya. Artinya penyimpangan persepsi seksual seseorang juga pasti terjadi karena sebuah pengaruh lingkungan dalam masa perkembangan organ reproduksi serta mental spiritualnya tersebut.
Dari pengalaman saya melakukan terapi LGBT, pengaruh lingkungan pada masa kanak-kanak sangat dominan menjadi penyebab terbentuknya jiwa LGBT. Bisa karena pengaruh ibu yang terlalu dominan pada anak laki, atau pengaruh ayah yang terlalu keras kepada anak perempuan. Atau peristiwa traumatik akibat pelecehan seksual ketika kecil. Namun dari in take interview saya dengan pemuda ini, semua itu tidak terjadi. Dia tumbuh dari keluarga kecil yang lumayan religius. Dia hanya memiliki satu adik perempuan, dan keluarga itu lumayan harmonis (minimal menurut pengakuannya). Hmm, pasti ada sesuatu yang terlewatkan oleh pikiran sadar pemuda ini.
Dengan teknik Past Life Age Regression, saya ajak pemuda ini jalan-jalan ke masa lalu. Dan ternyata memang ada memori yang terlupa dia ceritakan dalam kondisi awake. Nyatanya sampai dia kelas 4 SD, di rumah orangtuanya ikut menumpang Paman dan Tante dari pihak ibu. Menurut dia sang tante adalah seorang perempuan judes, galak dan sangat tidak bersahabat dengan anak-anak, termasuk dirinya. Selain kata-kata kasar yang acapkali terlontar dari mulutnya, tante ini tak jarang juga mencubit dirinya jika sedang kesal atau menganggap dirinya nakal. Sebaliknya sang paman sangatlah baik kepada dirinya. Selain tutur kata yang halus, parasnya juga lumayan rupawan. Sang paman inilah yang kerap menyelamatkan dirinya dari cengkeraman tantenya. Seringkali ketika menolong ponakannya ini, sang paman hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada.
Nah..., rupanya ini asal muasal terjadinya persepsi yang salah pada pemuda tadi di waktu kecil. Bagian dirinya yang paling dalam waktu itu tentu sangat membenci tantenya, dan secara tak sadar menyanjung pamannya.
Polanya adalah sbb:
Tante jahat, aku benci tante ->Tante adalah seorang perempuan, maka aku benci perempuan.
Paman baik hati, aku suka paman -> Paman adalah seorang pria (ganteng, dadanya bidang), maka aku suka pria (apalagi yang bertelanjang dada).
***