e:hari.bagindo@gmail.com
Perang dahulu kala dipicu oleh keinginan untuk menguasai wilayah dan daerah yang luas, termasuk berkuasa atas penduduk, kekayaan alam, serta pajak dan jarahan selama proses itu berlangsung.
Indonesia adalah negeri beribu pulau, beribu sistem kemasyarakatan ada di Indonesia. Negeri beribu kerajaan. Indonesia sejatinya suka berperang. Kita memiliki banyak senjata tradisional, ilmu bela diri, bahkan ilmu kekuatan badan lain yang sampai saat ini masih di lestarikan oleh para penganutnya. Sejatinya Penduduk Indonesia adalah satria-satria nusantara yang tidak diragukan nyali dan loyalitas kepada ibu pertiwi.
Sejarah telah membuktikan bahwa Nusantara tidak mudah di taklukkan, tapi terbuka untuk berbagai bentuk pertemanan baik hubungan dagang, budaya, atau hubungan lainnya.
Sejarah juga mencatat bahwa keterbukaan kita sering kali dimanfaatkan akhirnya digunakan untuk memperdaya, mendominasi akhirnya mengeruk potensi sosial, ekonomi dan sumber daya alam yang sudah berlangsung berabab-abad sejak dulu kala dan bahkan masih terjadi di jaman yang modern ini.
Kemerdekaan Indonesia di rebut dan dipertahankan dalam Perang Kemerdekaan dan Perang Mempertahankan Kemerdekaan yang mengucurkan banyak darah pemuda-pemudi Indonesia yang gagah berani.
Mempertahankan Indonesia dalam konteks jaman digital ini rasanya perlu di definisikan ulang.Seiring batas-batas negara yang makin kabur, dengan uang yang berlimpah kita bisa diterima menjadi warga negara dimanapun kita mau. Nasionalisme mulai kehilangan relevansinya. Ditambah individualisme yang subur, pemujaan akan kebebasan pribadi menambah kompleksitas pembangunan makna satu nusa satu bangsa dan satu bahasa bagi digitally born Indonesia.
Gerbang Jaman Digital
Kita adalah digitally immigrant. Penduduk yang lahir di jaman analog. Yang menjadi pendatang di gerbang jaman digital ini. Pastinya sulit bagi digitally immigrant seperti saya ini memberikan panduan, tuntunan dan peta kepada anak saya, generasi berikutny, karena mereka native digital pemilik jaman digital yang sudah datang. Saya tidak bisa membayangkan dunia mereka yang datang seperti apa. Memimpikannya pun tidak.
Saya teringat orang tua saya yang sudah meninggga. Mereka tidak pernah membayangkan sebelumnya kehidupan yang saya alami dengan penggunaan teknologi yang cukup beraneka rupa, mulai dari hp, komputer dengan segala aplikasinya, email, chat, sesuatu yang tidak pernah terbayang dan terpikirkan oleh mereka. Rasanya tepat membawa analogi yang sama kedalam konteks digitally immigrant-native digital yang menjadi hubungan orang tua dan anak-anak kita sekarang.
Dengan kondisi yang demikian, sebagai orang tua apakah yang harus kita berikan sebagai modal kepada generasi berikutnya dimana zaman digital sudah tiba, tantangan peluanga, manfaat dan mudaratnya belum secara penuh terpetakan. Menciptakan beragam layanan yang belum ada sekarang ini merupakan tugas mereka, karena hampir 24 jam waktu mereka dihabiskan di depan layar berpendar ini.