e:hari.bagindo@gmail.com
SBY Takut Tinggal di Negeri Sendiri
Kesan SBY takut tinggal di negeri sendiri sangat mudah di tangkap paska berakhirnya perintahannya dengan dilantiknya pemimpin baru Indonesia di bawah kendali Presiden Joko Widodo. Tidak lama berselang SBY katanya dipilih oleh masyarakat internasional untuk memimpin sebuah lembaga internasional baru yang juga belum lama berdiri sebagai Presiden Majelis Global Green Growth Institute (GGGI), Selasa (23/9) yang bermarkas di Korea Selatan. Entah mengapa hal ini terasa janggal  di benak saya, saya menangkap  SBY sudah berpindah domisili sambil menebar kritik kebijakan serta program kerja pemimpin baru Indonesia dari negeri seberang.
Ironis Melahirkan Bom Waktu
Ahhh, ironis sekali mantan presiden kita ini. Serasa tidak mau dan mampu memberi jawab atas segala konsekwensi kebijakan dimasa pemerintahannya yang segera dikoreksi oleh oleh Presiden Joko Widodo sebelum menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Betapa tidak, kebijakan yang jelas-jelas bertentangan  dengan rasa keadilan terus ditelurkan SBY menjelang akhir masa kepemimpinannya.
Daftar panjang sudah banyak di bahas dalam media sosial, koran dan kompasiana sendiri. Saya coba sajikan yang satu ini. Diplomasi lunak Indonesia yang hampir-hampir tidak memiliki harga diri dalam diplomasi internasional. Apalagi  dengan negara yang mengaku serumpun tapi picik dalam tindak tanduknya, siapa lagi kalau bukan Malaysia!
Tak bangga rasanya dipimpin oleh presiden yang penuh dengan pencitraan dan kepura-puraan apalagi berlindung dibalik melaksanakan amanat konstistusi yang nyata-nyata sudah sangat jauh melenceng dari semangat pengutamaan kepentingan nasional bangsa Indonesia.
Kebijakan mobil murah (LGCC) contohnya. Berbalut istilah "green car" untuk mengecoh publik, kebijakan mobil murah semakin memperparah subsidi BBM yang hampir tidak memberi ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktru dan program kegiatan pengentasan kemiskinan entah dengan dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. "Kita perlu mobil hemat energi", katanya. Waktu jua yang membuktikan  bahwa ini adalah sebuah kesalahan karena berpihak pada tekanan kapital asing dan konsekwensinya yang lebih menghebohkan. Suburnya budaya konsumerisme, hedonisme, budaya boros energi, budaya menggerus devisa kita berdampak luas pada daya tahan ekonomi secara keseluruhan utamanya pada lemahnya nilai tukar  rupiah dan selisih perdagangan negatif dengan negara lain, banyak impor dan sedikit ekspor. Contoh kasus dengan Thailand kita mengalami defisit berdagangan akut dan devisa ludes karena mengimpor  mobil Honda Jazz atas perintah otoritas otomotif yang bermarkas di Jepang.
Tertolak