Setiap hari ketika hendak ke pasar Segiri, yang terletak di tengah kota Samarinda. Sedini hari mungkin saya harus bergegas berangkat ke sana. Saya tidak ingin kedahuluan oleh mobil pengangkut barang jenis trailer atau pick up yang akan ramai lalu lalang di pinggir jalan menuju pasar untuk bongkar barang dan mengobralkan asap hitam pekat buangan kerja mesin dieselnya, yang kemudian terpapar ke udara.
Selain itu, jika berangkat agak siangan ke pasar, barang-barang kebutuhan pokok biasanya telah merangkak naik. Seperti sayur mayur, bahan pokok dan buah buahan, akibat hampir semua komoditas 'dikuasai' oleh tengkulak. Bisa juga kenaikan harga tersebut akibat cuaca buruk yang melanda lahan pertanian petani.
Namun ada hal yang sering terjadi yang menjadi penyebab melambungnya harga kebutuhan di pasar-pasar tradisonal di Kaltim yakni, kelangkaan BBM jenis solar yang dibutuhkan oleh unit transportasi pengangkut barang antar wilayah pelosok daerah yang terkadang jarang tersedia di SPBU di wilayah Kaltim pada umumnya.
Jika BBM sudah langka, maka ongkos pengantaran komoditas barang akan membangkak dengan sendirinya dikarenakan kompensasi lamanya waktu unit stay-bydi perjalanan hanya untuk  mengantre solar. Terlebih lagi, jika terjadi kenaikan penyesuaian harga BBM yang terjadi sewaktu-waktu.
Fenomena tadi memang tidak bisa kita elakkan. Ketergantungan akan bahan energy terutama BBM bisa menjadi-jadi di masa depan. Dan ini akan menjadi Pekerjaan Rumah bagi Pertamina, yang juga belum lelah tertantang dalam mencukupi dan mendistribusikan komoditas BBM ke jalur-jalur pelosok Indonesia yang amat rumit ini, terutama wilayah Kalimantan Timur, secara efektive dan efesien.
Nah, tentu kita akan setuju jika kemudian harus ada upaya menemukan energy baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan untuk menggantikan energy tak terbarukan saat ini. Bagi  masa depan, sekaligus menjawab ketakutan akan kepunahan aneka SDA tak terbarukan yang Indonesia miliki. Nah ada nggak sih energy baru itu kira-kira?
Industri Kelapa Sawit Pengganti Industri Pertambangan di Kaltim, Solusikah?
Isu deforestasidi Kaltim misalnya sudah menggelinding sejak lama. Bak bola salju, semakin hari semakin membesar ukurannya. Jika dulu bola itu bernama illegal loging dan pertambangan, nampaknya mulai tahun 2000-an deforestasiberganti nama menjadi industry sawit yang telah menggurita di Indonesia umumnya.
Tapinya, keramahan industry sawit terus dipertanyakan? Ditenggarai keberadaaan industry ini merusak hutan Indonesia yang notabeneadalah paru-paru dunia. Dan banyak versi bersaut-sautan untuk mengomentari keramahan industry sawit, yang memang perlu satu kacamata yang sama untuk memandang hal itu secara cermat. Jika ingin menghasilkan kesimpulan yang productivedalam konteks pengembangan industry sawit kedepan dan manfaatnya.