Mohon tunggu...
F. Harianto Santoso
F. Harianto Santoso Mohon Tunggu... -

Saya menaruh minat pada perkembangan media massa koran dalam lingkup global, terutama persaingan hiperkompetisi koran di Amerika. Termasuk di dalamnya masalah kajian media. Makanya saya mengagumi frontpage yang secara visual menarik dari banyak koran di seluruh dunia. Selain itu saya juga menaruh minat pada personifikasi militer Indonesia terutama TNI AD, dan perkembangan kewilayahan melalui kendaraan otonomi daerah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Koran Tanpa Wartawan. Bisa?

21 November 2009   14:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka yang berusia di atas 40 tahun mungkin masih ingat. Pernah dalam satu masa di dasawarsa 1980 dan 1990-an, tersebutlah tiga nama produk media cetak yang mewakili kebutuhan masyarakat perkotaan. Ketiga media itu adalah Kompas, Majalah Tempo, dan Majalah Femina. Bisa dibayangkan seperti apa kelas orang yang melanggani dan sekaligus membaca ketiga media tersebut. Mereka biasa disebut sebagai kaum kelas menengah perkotaan. Asosiasi yang muncul adalah wangi, cerdas, energik, berduit, dan tentunya dengan posisi pekerjaan yang mumpuni.   Teknologi informasi kemudian membuat pasar bergeser. Kebutuhan akan informasi tidak hanya didominasi media cetak. Setiap orang bisa mendapatkan informasi di media online. Generasi kelahiran tahun 1977-1998 atau biasa disebut generasi milenial bahkan disinyalir tidak lagi bersentuhan dengan media cetak secara fisik. Mereka membaca berita dan segala informasi langsung dari media online. Kemajuan teknologi informasi secara ekstrim dianggap sebagai ancaman. Media online dan berbagai medium penyampaiannya tiba-tiba menjadi substitusi bagi media cetak. Di sini disruptive technology menjadi semakin menemukan maknanya, punya andil dalam mengandaskan media cetak. Kemajuan teknologi informasi selain menurunkan pembaca, juga berkontribusi dalam menipiskan pundi-pundi media cetak. Bukan hanya pembaca yang hengkang, melainkan juga pemasang iklan. Padahal, secara tradisional sejak koran diciptakan, isi kantongnya berasal dari pemasang iklan. Koran Gue Banget     Singkat kata, pasar media cetak (baca: koran) semakin sempit. Tiras tidak bertambah, malahan semakin turun. Pendapatan laba operasi maupun keuntungan dari tahun ke tahun cenderung semakin turun. Runyam. Berbarengan dengan resesi ekonomi global yang menyuramkan ekonomi lokal sejak kwartal ketiga 2008, pasar koran cenderung semakin tidak menjanjikan. Teknologi online yang sebelumnya dianggap sebagai enemy, mau tidak mau harus dirangkul. Jadilah media cetak melakukan sleeping with the enemy. Mungkin ada sedikit Sindrom Stockholm dalam hal ini, apa yang dulunya dianggap sebagai musuh, kini malahan dianggap sebagai belahan jiwa. Teknologi online adalah bagian dari nyawa media cetak. Tanpa itu, media cetak akan mati.

Di antara kebingungan manajemen koran mencari bentuk identitas koran di tengah iklim digital dan sekaligus model bisnis yang tepat, muncul satu gagasan berani dari Berlin. Wanja Oberhof, yang baru berumur 23 tahun serta senang membaca sekaligus beberapa koran nasional dan
internasional, dan Hendrik Tiedemann (27 tahun) sebagai penyandang dana, membuat kejutan yang menyegarkan. Mereka membuat koran baru. Edisi perdana diluncurkan 16 November 2009 dan hanya beredar sementara di Berlin, Jerman.  Apa yang membuat orang terbelalak adalah koran ini ibaratnya tagline iklan minuman ringan bersoda Sprite, gue banget! Ini kata lain dari istilah personalized newspaper. Apa terobosannya? Kedua anak muda ini mengambil bahan koran hariannya itu bukan dari dapur redaksinya sendiri, melainkan dari dapur redaksi orang lain. Jadi, tidak ada wartawan di koran ini!  Niiu demikian nama koran itu. Koran warna setebal 24 halaman
dengan format tabloid ini mengisi halaman-halamannya sesuai pesanan pembaca dalam arti sesungguhnya. Setiap orang bisa memesan sesuai dengan keinginan masing-masing berdasarkan pilihan dari 17 koran lain (sejauh yang sudah menandatangani kontrak kerja sama) baik di seputar Jerman maupun internasional. Juga masih ditambah isi dari beberapa situs dan blog.  Melihat isi koran, bisa disebut Niiu ini koran hibrid. Seksi atau halaman berbagai koran yang dikombinasikan menjadi satu kuplet koran, misalnya seluruh seksi yang memuat berita ekonomi dari sebuah koran, atau hanya mengambil halaman utamanya saja. Hebatnya, praktis tidak ada koran yang sama yang diproduksi Niiu setiap harinya. Pesanan disesuaikan dengan selera dan pilihan masing-masing individu. Oleh sebab itu pada masthead halaman depan koran ini tertulis Niiu untuk ..... (nama pemesan). [caption id="" align="aligncenter" width="239" caption="null"]
[/caption] Ada berita dari tabloid Bild, Berliner Morgenpost, Der Tagesspiegel, koran ekonomi Handelsblatt dan lainnya. Sementara koran internasional ada The New York Times, International Herald Tribune dan The Washington Times. Juga ada Komsomolskaya Pravda dari Rusia. Memang tidak semua koran papan atas Jerman mau melakukan kontrak dengan Niiu, takut justru menjatuhkan tiras sirkulasi mereka sendiri. Frankfurter Allgemeine Zeitung dan Sueddeutsche Zeitung misalnya. Pembaca juga dapat memesan topik konten dari 500 situs mulai dari olahraga, politik, musik dan seni. Pelanggan yang melakukan akses ke situs niiu.de sebelum jam 2 siang dapat menyusun korannya sendiri buat besok paginya. Tentu saja bahan-bahan berasal dari pilihan yang sudah ditentukan tadi. Bahan-bahan tersebut kemudian dicetak memakai printer digital Oce yang mampu menghasilkan koran sekualitas koran yang dicetak konvensional menggunakan teknologi pelat. Dalam satu jam dapat dicetak sekitar 2.000 koran tabloid warna 24 halaman. Setelah itu, koran-koran tersebut siap dikirim ke alamat masing-masing pada pagi harinya. Niiu dijual seharga 1,80 Euro, terbit Senin-Sabtu dengan target sirkulasi 5.000 eksemplar dalam enam bulan pertama.  Target Iklan Salah satu alasan mengapa kedua anak muda tersebut berani menerbitkan koran Niiu adalah kondisi riil selama ini. Internet sudah semakin menjamur dan melahirkan generasinya sendiri. Sementara itu, kekuatan koran masih tetap dominan pada koran cetak. Mereka lalu menggabungkan kekuatan dari masing-masing unsur tersebut: online dan cetak. Cuma, masih timbul pertanyaan. Mengapa ujung-ujungnya kembali ke koran cetak? Bukankah generasi internet, BlackBerry, iPhone dan laptop tidak suka membaca koran cetak. Di sinilah problematika koran cetak. Ia belum matang benar untuk bisa hidup hanya dari online. Meskipun pendapatan dan keuntungan koran kencenderungannya menurun, namun pendapatan dari cetak masih jauh-jauh lebih besar dibandingkan pendapatan online. Sesuram-suramnya koran cetak, dia masih menjadi pilihan pemasang iklan yang berani membayar lebih mahal daripada memasang iklan di online. Untuk itu Niiu mengalokasikan dua halamannya bagi pemasang iklan. Harapannya, pemasang iklan tertarik melirik Niiu karena mereka memiliki inovasi, diferensiasi, serta database yang akurat atas profil dari siapa saja pembacanya. Beda dengan koran cetak mainstream yang menang di banyaknya tiras tapi tidak mempunyai database akurat atas pembacanya sendiri. Keberhasilan koran Niiu masih harus dibuktikan di pasar. Di tengah kebuntuan mencari inovasi dan kreativitas atas koran cetak selama ini, gagasan Oberhof lalu mengundang perhatian. Obsesi memiliki sekian banyak koran, tabloid, atau majalah seperti dasawarsa 80-an dengan berlangganan Kompas, majalah Tempo, dan majalah Femina. Seperti juga kebiasaan Oberhof mengkonsumsi das Bild, der Spiegel online, Handelsblatt dan The New York Times, lalu menjadi kenyataan. Tidak usah mengeluarkan uang banyak membeli secara fisik seluruh media tersebut. Cukup memindahkan halaman kesukaan setiap orang atau bahkan seksi dalam sebuah media, kesampaianlah memiliki semuanya! Itu sebabnya Oberhof dan Tiedemann merasa optimistis binis koran hibrit mereka bakal menjadi besar. Kalau Berlin bisa ditaklukkan, mengapa kota besar lain tidak? Asosiasi koran sedunia (WAN) juga merasa tertarik atas gagasan Oberhof tersebut. Makanya, lembaga ini mengundang dia untuk memaparkan bagaimana mengelola koran Niiu, termasuk di dalamnya menceritakan hal-hal praktis di Kongres WAN di Heyderabat, India, 1-3 Desember 2009. Diharapkan Oberhof dan Tiedemann membagi pengalaman bagaimana mengembangkan piranti lunak agar bisa mengumpulkan sumber-sumber korannya, membuat tata letak dari sumber yang berbeda, mengurus kontrak dengan koran-koran sumber, meyakinkan pemasang iklan, sampai pada bagaimana membawa cetakan koran tersebut ke alamat pelanggan setiap pagi. Tak terbayangkan kalau koran hibrid Oberhof diadopsi di Indonesia. Di satu sisi koran setebal 24 halaman itu bisa saya isi, misalkan rubrik metro dari seluruh koran daerah. Hanya dengan membeli satu koran, saya sudah bisa memiliki pengetahuan atas berita metro seluruh koran di nusantara. Tidak usah buang duit banyak untuk membeli koran-koran yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Namun, di sisi lain: apa kontribusi koran ini bagi perkembangan jurnalistik, kecuali model bisnis yang bisa meyakinkan pemasang iklan? Anda tertarik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun