Taman nasional yang memiliki luas kurang lebih 15.000 Ha ini memang tak ada habisnya untuk dijelajahi. Mulai dari sisi Selatan daerah Sukabumi, daerah episentrum puncak Gede dan Pangrango hingga sisi utara wilayah Bogor dan Cianjur, semua bagian menyuguhkan atraksi dan bentang alam masing-masing yang unik dan memukau. Pekan lalu, saya bersama enam teman lain menjajal sisi lain Taman Nasional Gede Pangrango melalui Pintu Masuk Kebun Raya Cibodas (2 jam dari Jakarta). Meski saya sudah mengunjungi sisi ini sebelumnya (sekitar 2 tahun yang lalu) namun rasa penasaran masih menghinggapi saya untuk tetap antusias menikmati hamparan eloknya persada TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango). Dikarenakan semua jalur dan objek pendakian Gunung Gede maupun Pangrango tengah ditutup untuk pemulihan ekosistem, kami urungkan niat mengunjungi Puncak Pangrango dan hanya akan menjajal beberapa air terjun (curug) di kaki Gunung Pangrango. Yes, the legend, Curug Ciwalen dan Cibeureum. Ciwalen merupakan air terjun kecil dengan ketinggian tak lebih dari 20m. Terletak hanya 0,75Â km dari pos pengecekan pendakian. Sempat saya heran mengapa air terjun ini dinamakan Ciwalen. Menurut guide lokal, Ciwalen diambil dari nama tanaman sejenis suku beringin (Ficus ribes) yang memang banyak tumbuh di areal cekungan sungai Ciwalen.
Curug Ciwalen (dokumentasi pribadi) Menyusuri jalanan yang telah dibatu, akses menuju Ciwalen tidak begitu sulit. Sebenarnya bukan semata air terjun yang membawa kami ke lokasi ini, namun guide kami menjelaskan bahwa di areal Ciwalen terdapat canopy trail sepanjang 130 m yang sayang untuk dilewatkan. Dibangun pada tahun 2010 lalu oleh Gunma Safari World Japan, canopy trail ini membentang sepanjang 130 meter, membelah jurang sedalam  40 meter dan mampu menopang beban hingga 300 kg. Meski agak sedikit ngeri, namun pemandangan dari atas  yang mengesankan membuat saya betah berada di jembatan tajuk tersebut. Pohon tinggi menjulang membentuk pilar sedangkan rimbunnya kanopi membentuk atap yang lebat serba hijau, lautan klorofil membentang dilatarbelakangi suara bunyi aliran sungai yang menggemuruh di bawah jembatan, membuat kita betah berlama-lama berada di atas jembatan.
Canopy Trail menuju Curug Ciwalen (dokumentasi pribadi) Menurut
guide lokal, akses
canopy trail ini masih terbatas sehingga kondisinya masih nampak baik. Jika banyak dibuka untuk umum dan
tracking tidak disertai
guide, jembatan ini selain berbahaya juga bisa dijadikan objek vandalisme corat-coret tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Selesai menikmati keindahan pemandangan dari
canopy trail dan mengecap segarnya hembusan air
curug Ciwalen, kami melanjutkan perjalanan menuju curug Cibeureum. Melewati jalanan menanjak berbatu, perjalanan 2,6 Km kami tempuh dalam waktu 2 jam. Bukan karena terknya yang sulit dan fisik yang tidak kuat, namun karena begitu banyaknya spot yang sayang untuk tidak diabadikan. Alhasil kami banyak berhenti untuk sejenak menangkap eloknya bentang alam yang disuguhkan ‘kakak beradik’ Gede-Pangrango ini pada kami.
Salah Satu Spot foto yang sayang untuk dilewatkan: latar belakang Pangrango! (dokumentasi pribadi) Salah satu yang cukup menyita perhatian adalah telaga biru. Danau mungil yang berada kurang lebih 1,4 km dari pos pendakian pertama ini  memiliki warna air yang unik. Menurut papan informasi yang berada di dekat danau, warna biru pada danau diakibatkan oleh aktivitas ganggang, alga dan mikroorganisme lain yang menghuni dasar hingga permukaan danau, bahkan aktivitas alga di dalam danau terkadang menbuat warna danau sediki kecoklatan dan nampak berlendir. Masih menurut papan informasi di sana, danau ini kaya akan nutrisi dari bahan organik yang terbuang setiap harinya ke dalam dasar danau. Warna unik dengan ornamen sulur dan latar belakang hijauan yang rapat dan rimbun menambah eksotisme danau berwarna biru ini.
Telaga nan menenagkan, telaga biru (dokumentasi pribadi) Objek utama dalam agenda jalan-jalan kali ini dalah
curug Cibeureum. Menjulang setinggi 40Â m berada pada ketinggian 1675Â m di atas permukaan laut, air terjun ini menyuguhkan pemandangan yang begitu menyegarkan. Debit curug Cibereum kali ini memang jauh lebih besar dibanding dengan saat saya mengunjungi tempat ini dua tahun silam, mungkin karena sekarang tengah musim penghujan sehingga air yang tertampung menjadi lebih banyak. Air terjun lain yang tak kalah indahnya adalah curug Cikundul. Meski tak sebesar curug cibeureum, namun curug cikundul memiliki tekstur dinding batu yng lebih unik. Warna kemerahan batu yang bertekstur kasar, diterpa percikan air lembut membuat mata tak ingin lepas dari pemandangannya. Air yang bersuhu dibawah 20 derajat celcius menambah kesegaran saat tetesan air terjun beserta hembusan angin dari
curug ini menerpa wajah. Sungguh kesegaran yang tak mudah untuk dicari.
Curug Cikundul (terlalu terang, gagal membuat foto dengan slow speed) (dokumentasi pribadi) Perjalanan pulang kami tempuh dalam waktu 1 jam, berbekal sisa semangat yang masih ada, kami mulai turun menapaki jalanan yang sudah mulai ramai didatangi pengunjung. Waktu yang tepat untuk mengunjungi air terjun ini memang saat pagi menuju siang.
Brightness mataharinya optimal dan tentunya kita bisa mandi dibawah percikan kedua air terjun elok ini. Sayangnya, lagi-lagi objek-objek
wisata ini tak bebas dari aksi coretan dan sampah. Meski sudah termasuk ke dalam wilayah taman nasional, namun sangat-sangat disayangkan kesadaran pengunjungnya terkait  kebersihan dan kerapihan masih minim. Semoga seiring dengan semakin banyaknya tempat yang bisa dieksplor, semakin  meningkat pula kesadaran pengunjungnya kalau objek wisata bukan tempat untuk membuang sampah dan objek corat-coret.
The Crew (dokumentasi pribadi)
notes : *Tiket masuk Ciwalen seharga Rp31.000 dan ongkos guide Rp50.000 ** Tiket Pintu masuk Ciwalen sudah termasuk dengan tiket pintu masuk Cibeureum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya