Gunung selalu menuturkan selaksa cerita, bagi para pendaki, bagi masyarakat sekitar, atau bagi kita yang mungkin berjarak ribuan kilometer dari gunung itu sendiri. Telah lama manusia mengasosiasikan gunung sebagai sosok yang misterius, sumber malapetaka, serta sarat akan hal-hal yang berbau mistis, lengkap dengan cerita tentang kemunculan makhluk astral di setiap sudutnya.
Merapi menjadi salah satu gunung yang tersohor karena kisah mistisnya. Sejak belasan tahun silam, kita mungkin sudah familiar dengan nama Merapi, nama gunung ini acap kali disebutkan dalam cerita seri mistis bertajug “Mak Lampir” bahkan judul ceritanyapun membawa embel-embel Merapi, “Misteri gunung Merapi”.
Jika biasanya sebelum melakukan pendakian saya membaca literatur mengenai jalur atau trek yang akan saya lalui, saat mencari literatur mengenai Merapi, yang saya dapatkan kebanyakan justru artikel yang menceritakan kisah mistis. Mengenai pasarnya para Jin, mengenai kekuatan mistis Sri Sultan hingga mengenai bangkitnya Mak Lampir sebagai penghuni Merapi. Namun dibalik kisah-kisah itu, banyak kisah yang lebih menggugah rasa ingin tahu saya mengenai Merapi.
Saya lebih tertarik dengan kisah tentang Junghun yang pertama kali mengeksplorasi Merapi, tentang kawahnya yang begitu aktif serta tentang bagaiamana ia bisa membawa petaka dan merenggut ratusan nyawa dengan asap tebal dan panasnya. Atau tentang bagaimana magnet keindahan yang dipancarkan merapi hingga ratusan hingga ribuan orang rutin mendaki gunung yang memiliki ketinggian 2.930 mdpl ini.
Pendakian
Sebagian berpendapat bahwa Merapi merupakan nama yang berasal dari bahasa sanskerta, berakar dari kata meru yang artinya gunung dan api yang berarti gunung vulkanis. Sebagian lagi berpendapat bahwa kata merapi diterjemahkan secara bebas sebagai gunung yang ‘merapi’, mengeluarkan lahar serupa api setiap kali ia meletus.
Tanpa banyak membaca mengenai kondisi jalur, pendakian saya –dan kesebelas kawan saya lalui dengan sedikit payah. Kami memulai pendakian sekitar pukul 11.00. Jalur berpasir dan berbatu diperparah dengan derasnya hujan yang terus mengguyur dari selepas dzuhur, membuat kami sulit untuk melangkahkan kaki. Beruntung, beberapa bagian jalur membentuk undakan karena jalinan akar-akar pohon pinus yang saling belit membelit, mempermudah kami melangkahkan kaki.
Pukul 12.00 kami masih berada di tengah perjalanan. Hujan enggan berhenti dan kabut semakin menebal. Jarak pandang terbatas dan udara kian dingin. Kabut tebal dan hawa dingin membuat kami sedikit delusional, lelah serta sedikit hilang arah.
Untuk memulihkan konsentrasi, sesekali kami berhenti untuk menikmati segarnya berry hutan yang entah apa itu namanya. Mengumpulkan tenaga sembari membunuh letih dengan sedikit bincang-bincang hangat. Saya terpukau dengan kekuatan buah berry hutan ini. Tanaman perdu berbuah merah ini tangguh hidup meski lingkungan sekitar sarat akan cekaman.