Mohon tunggu...
Hari Akbar Muharam Syah
Hari Akbar Muharam Syah Mohon Tunggu... Auditor - Karyawan

Karyawan di Salah Satu Perusahaan Swasta Nasional. Menulis tentang Jalan-jalan, sosial dan sastra. Pendatang baru di dunia tulis-menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Di balik Kisah Mistis Merapi

5 Juni 2016   22:50 Diperbarui: 5 Juni 2016   23:34 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu trek yang harus dilewati pendaki (Dok. Pribadi)

Gunung selalu menuturkan selaksa cerita, bagi para pendaki, bagi masyarakat sekitar, atau bagi kita yang mungkin berjarak ribuan kilometer dari gunung itu sendiri. Telah lama manusia mengasosiasikan gunung sebagai sosok yang misterius, sumber malapetaka, serta sarat akan hal-hal yang berbau mistis, lengkap dengan cerita tentang kemunculan makhluk astral di setiap sudutnya.

Merapi menjadi salah satu gunung yang tersohor karena kisah mistisnya. Sejak belasan tahun silam, kita mungkin sudah familiar dengan nama Merapi, nama gunung ini acap kali disebutkan dalam cerita seri mistis bertajug “Mak Lampir” bahkan judul ceritanyapun membawa embel-embel Merapi, “Misteri gunung Merapi”.

Jika biasanya sebelum melakukan pendakian saya membaca literatur mengenai jalur atau trek yang akan saya lalui, saat mencari literatur mengenai Merapi, yang saya dapatkan kebanyakan justru artikel yang menceritakan kisah mistis. Mengenai pasarnya para Jin, mengenai kekuatan mistis Sri Sultan hingga mengenai bangkitnya Mak Lampir sebagai penghuni Merapi. Namun dibalik kisah-kisah itu, banyak kisah yang lebih menggugah rasa ingin tahu saya mengenai Merapi.  



Saya lebih tertarik dengan kisah tentang Junghun yang pertama kali mengeksplorasi Merapi, tentang kawahnya yang begitu aktif serta tentang bagaiamana ia bisa membawa petaka dan merenggut ratusan nyawa dengan asap tebal dan panasnya. Atau tentang bagaimana magnet keindahan yang dipancarkan merapi hingga ratusan hingga ribuan orang rutin mendaki gunung yang memiliki ketinggian 2.930 mdpl ini.

Pendakian

Sebagian berpendapat bahwa Merapi merupakan nama yang berasal dari bahasa sanskerta,  berakar dari kata meru yang artinya gunung dan api yang berarti gunung vulkanis. Sebagian lagi berpendapat bahwa kata merapi diterjemahkan secara bebas sebagai gunung yang ‘merapi’,  mengeluarkan lahar serupa api setiap kali ia meletus.

Tanpa banyak membaca mengenai kondisi jalur, pendakian saya –dan kesebelas kawan saya lalui dengan sedikit payah. Kami memulai pendakian sekitar pukul 11.00. Jalur berpasir dan berbatu diperparah dengan derasnya hujan yang terus mengguyur dari selepas dzuhur, membuat kami sulit untuk melangkahkan kaki. Beruntung, beberapa bagian jalur membentuk undakan karena jalinan akar-akar pohon pinus yang saling belit membelit, mempermudah kami melangkahkan kaki.

Pukul 12.00 kami masih berada di tengah perjalanan. Hujan enggan berhenti dan kabut semakin menebal. Jarak pandang terbatas dan udara kian dingin. Kabut tebal dan hawa dingin membuat kami sedikit delusional, lelah serta sedikit hilang arah.

Untuk memulihkan konsentrasi, sesekali kami berhenti untuk menikmati segarnya berry hutan yang entah apa itu namanya. Mengumpulkan tenaga sembari membunuh letih dengan sedikit bincang-bincang hangat. Saya terpukau dengan kekuatan buah berry hutan ini. Tanaman perdu berbuah merah ini tangguh hidup meski lingkungan sekitar sarat akan cekaman.

Bery hutan (Dok. Pribadi)
Bery hutan (Dok. Pribadi)
                                                                                                 

Perjalanan penuh aral dan rintang itu kami lalui selama empat jam, kami lalui dengan nafas tersengal, namun bayangan indahnya puncak membuat kami enggan menyerah. Pukul 15.00 Akhirnya kami tiba di pos bayangan yang tak berada jauh dari Pasar Bubrah, hanya beberapa meter dari puncak. Dari sore hingga malam kami mendirikan tenda seadanya disekitar tebing di dekat Pasar Bubrah. Karena hujan tak kunjung enyah dan letih kian menumpuk, perjalanan menuju puncak kami putuskan untuk dilanjutkan dini hari.

Pasar Bubrah

Dini hari, perjalanan yang dinjanjikan pun kami mulai. Dari tebing sisi barat yang curam dan terjal, ditengah gulita malam dan dinginnya angin pegunungan yang menggoda bulu kuduk, perjalanan terasa semakin berat. Namun bayangan akan indahnya puncak Merapi dan sokongan  teriakan semangat dari kawan-kawan membuat energi mudah terisi kembali.

Pukul 05.30 kami tiba di Pasar Bubrah. Sebelumnya saya pernah mencari gambar Pasar Bubrah di laman-laman internet, namun sungguh yang saya lihat langsung begitu memesona. Pasar Bubrah adalah sebuah tempat yang begitu lapang dan luas, dilatari dinding terjal kubah Merapi yang kokoh dan agung. Dinding yang tumbuh dinamis seiring dengan erupsi yang sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu.

Pasar Bubrah (dok. pribadi)
Pasar Bubrah (dok. pribadi)
                                                                                                     

Di dasar Pasar Bubrah, terhampar rimba batu-batu vulkanis beragam ukuran tergelar begitu saja. Hamparan bebatuan itu sesekali diselingi vegetasi perintis berbentuk perdu dengan bunga-bunga kecil berwarna kekuningan dan daun-daun yang tebal berwarna hijau pekat. Bunga-bunga ini mengobati rasa jemu pemandangan bebatuan yang tak sedikitpun berwarna. Namun siapa sangka,  di bawah keindahan Pasar Bubrah ini, terhampar lorong dapur magma yang tengah mendidihkan lavanya, bersiap untuk mendorong erupsi yang bisa terjadi kapan saja.

vegetasi perintis di Pasar Bubrah (Dok. Pribadi)
vegetasi perintis di Pasar Bubrah (Dok. Pribadi)


Dari sini, puncak hanya berjarak sekitar 500m, namun perlu waktu 1,5 jam untuk mencapainya. Kemiringan yang amat terjal serta medan pasir yang semakin dalam membuat perjalanan semakin lama.

Pendakian menuju puncak (dok. Pribadi)
Pendakian menuju puncak (dok. Pribadi)
                                                                                               

Puncak

Dan dari segala keindahan Merapi, puncak adalah hal yang paling didamkan para pendaki. Sesaat setelah Bubrah, sebenarnya pendaki tidak dianjurkan untuk melanjutkan pendakian hingga puncak. Struktur pasir yang labil, tingginya kadar belerang serta erupsi Merapi yang dapat terjadi kapan saja membuat pendakian menuju puncak merupakan pendakian yang tak dijamin keselamatannya.

Asuransi yang pendaki bayar hanya sampai di Pasar Bubrah, selebihnya segala risiko menjadi tanggung jawab masing-masing. Tak heran jika anjuran untuk tidak naik ke puncak terpampang berkali-kali di sekitar Pasar Bubrah.

Namun rasa penasaran melumat ketakutan itu semua. Meski kabut semakin tebal, kami bulatkan lagi semangat untuk menggapai puncak Merapi. Setelah perjalanan sekitar 1 jam, akhirnya kami tiba di puncak pukul 06.30. Agak terlambat namun tak sedikitpun mengurangi keindahan pemandangan dari puncak Merapi.

Pemandangan dari Puncak (dok. pribadi, by Yandi Brata))
Pemandangan dari Puncak (dok. pribadi, by Yandi Brata))
                                                                                                     

Dari timur, lamat-lamat matahari terbit disela-sela gumpalan awan sisa hujan semalam. Interferensi cahayanya menyinari kota Boyolali dengan elegan. Sedangkan di barat, gunung Merbabu terlihat anggun menancap pada perut bumi. Vegetasi hijaunya membuat mata tak lelah untuk menatapnya berjam-jam. Di tengah kawah, terhampar jurang curam menganga berasap tebal kekuningan. Di dasar jurang yang terlihat hanya hamparan batu berwarna kelabu yang diselingi asap yang semakin tebal. Puncak garuda terlihat menjulang di sisi utara. Kami tak berani lama-lama berfoto di sekitar tebing karena memang terlalu berbahaya.

Setelah puncak ditaklukan, kami pulang dengan sejuta kesan yang kami simpan dalam benak masing-masing. Kesan yang tak sedikitpun mengungkit mengenai kisah mistis Merapi, namun membawa kisah mengenai keindahan dan keanggunannya. Kami turun dengan menyusuri jalur yang sama saat kami mendaki. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menuruni jalur terjal punggung Merapi.

***

Dibalik seribu kisah msitis Merapi, ternyata keindahannya lah yang membuat kami terperangah dan meninggalkan kesan yang begitu melekat. Melihat kokohnya batu serta tebingnya yang runcing berwarna kelabu terang, melihat kepulan asap belerangnya yang siap keluar setiap waktu, melihat terhamparnya kota Boyolali atau bahkan melihat anggunnya Merbabu dari ketinggian puncaknya, adalah paket lengkap pemandangan yang luar biasa indah, pemandangan  yang membuat kami kagum pada gunung ini dan ingin kembali merengkuh setiap jengkal tubuhnya.

Setelah mendaki, saya kumpuklan beragam literatur mengenai gunung ini. Berdasarkan penelitian Berthomier, Gunung kokoh ini terbentuk karena aktivitas di zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia. Menyebabkan munculnya aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. Tahap pembentukan pra Merapi telah dimulai sejak 400.000 tahun yang lalu.

Kini Merapi menjelma menjadi gunung tipe vulkanian yang memiliki ruang lava andesit sangat kecil bila dibandingkan gunung-gunung vuklanis lain seperti Kilauea dan Reunion. Hal ini menyebabkan hanya dengan volume lava yang tak terlalu besar, gunung ini dapat dengan mudah melalui tahap erupsi. Hal ini didukung dengan kantong magma dangkal, sehingga erupsi dapat terpicu hanya dengan peningkatan tekanan yang tidak terlalu besar. Tekanan tersebut sudah dapat mengalirkan magma cukup lancar sampai permukaan tanpa perlu waktu panjang.

source

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun