Perang Baliho hingga billboard reklame sejumlah tokoh politik nasional bertebaran dipinggiran jalan di berbagai daerah di Indonesia. Tak terkecuali juga terpasang di Banyuwangi, bahkan belakangan ini mewarnai pemberitaan di laman media juga menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Pandemi Covid-19 tak membuat surut para tokoh tersebut untuk tampil meraih simpati publik. Justru mereka menunjukkan gelagat, inilah saat yang tepat.
Bilboard baliho milik Ketua DPP PDIP Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan sejumlah tokoh nasional
pastinya diniatkan untuk pencapresan, sebab baliho itu fenomena politik, bagian strategi pemasaran. Tujuannya tak mungkin normatif dan tak mungkin untuk hal ilmiah. Tujuannya pasti ingin dikenal orang.
Bahwa Pilpres masih jauh, menurut saya itu soal waktu saja, akan tetapi menurut kalkulasi politik, Pilpres sudah dekat. Baliho-baliho itulah yang bicara. Baliho nggak mungkin banyak bertebaran kalau nggak menganggap Pilpres sudah dekat.
Menurut saya justru, saatnya bagi mereka yang ingin maju menjadi presiden untuk terbuka saja, tak perlu berpura pura seolah tak mau bicara pencapresan. Walau mungkin pemasangan bilboard, baliho itu ulah kadernya akan tetapi jelas sepengatuhan mereka.
"Lebih baik terbuka dari awal, dan segera Deklarasi Capres" Jangan mengendap-endap membelakangi rakyat. Bersembunyi dalam karung, rakyat paham pemimpin sejati itu menghadap rakyat.
Nah, sekarang problemnya pemasangan baliho itu jika tak disertai komunikasi politik yang benar justru akan kontraproduktif. Publik bukannya akan suka namun sebaliknya jadi sebal. Karenanya, komunikasi dan kerja politik jadi penting untuk menerjemahkan baliho atau bilboard itu.
Contohnya, bagaimana mereka mengembalikan demokrasi pada proporsinya, jangan biarkan diasuh oleh oligarki. Lalu tunjukkan hasil kinerja keperpihakannya kepada rakyat, bagaimana mereka membantu menangani covid-19.
Memang secara etika politik, para politisi kita yang mestinya menjadi negarawan, penopang kebijakan, dan kepanjangan tangan dari rakyat. Saya kira tidak elok kalau kemudian masyarakat sedang menderita dan berjibaku, tetapi orang sedang berlomba-lomba merebut kekuasaan. Maka komunikasi kinerja politik sangat penting untuk menerjemahkan keinginan rakyat itu.
Bahwa, kalau rakyat muak dengan semua pencitraan politisi saat ini atau kenapa sih uang baliho itu gak buat bantuin rakyat yang lagi susah? Pendapat masyarakat itu benar, itu fakta. Namun masak iya kita (rakyat) mesti ngajarin mereka beramal, bantuin rakyat, mereka adalah orang pintar, mereka adalah tokoh tokoh politik nasional.
Bukankah pilkada 2020 kemarin juga ditengah tengah pandemi, diawal penolakan dari rakyat begitu luar biasa besarnya. Yang terkesan dipaksakan, dan akhirnya juga berjalan lancar masyarakat mengikuti kemauan pemerintah dan para pihak keterkaitan kepemiluan dan yang utama adalah partai politik itu sendiri.