Mohon tunggu...
Hari Setiawan
Hari Setiawan Mohon Tunggu... -

Penulis, juga seorang jurnalis. Bercita-cita menjadi pebisnis, kini merintis sebuah organisasi nirlaba agar bisa memberi manfaat pada sesama. Khairunnaas 'anfa'ahum linnaas...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saatnya Pesantren Peduli Risiko Bencana

2 November 2011   14:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:08 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Alhamdulillah, tulisan ini menjadi juara 2 dalam Lomba Karya Tulis Kebencanaan untuk Insan Pers 2011 yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan memperoleh skor 360, selisih 3 poin dari juara 1 yang memperoleh skor 363. Dimuat di Harian Pagi Radar Jember, 11 September 2011.

==============

INDONESIA dikenal sebagai salah satu negara di dunia dengan tingkat kerawanan bencana alam yang sangat tinggi. Posisi geografis yang dikepung cincin api (ring of fire) dunia dan dua lempeng benua menunjukkan bahwa bencana alam sangat akrab dengan Indonesia. Dengan adanya perubahan iklim, tingkat kerawanan itu makin bertambah pula.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, dalam kurun lima tahun (2004 – 2009), di Indonesia terjadi 4.408 peristiwa bencana alam. Rinciannya, gempa bumi 71 peristiwa, gempa bumi dan tsunami 2 peristiwa, letusan gunung berapi 24 peristiwa, dan tanah longsor 469 peristiwa. Lalu, banjir disertai tanah longsor 158 peristiwa, banjir 1.916 peristiwa, kekeringan 1.083 peristiwa, angin topan 580 peristiwa, dan gelombang pasang 105 peristiwa (jpnn.com, 23/8/2010).

Berbagai bencana alam itu telah mengakibatkan kerugian material dan immaterial yang tidak sedikit. Dana rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur dan rumah tangga yang sebagian besar tidak memiliki perlindungan keuangan yang harus dikeluarkan pemerintah juga sangat besar.

Sebagai contoh, kerugian yang diakibatkan gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias pada 2004 mencapai Rp 40 triliun. Sedangkan kerugian akibat gempa Jogjakarta pada 2006 lebih dari Rp 29 triliun. Pemerintah pun menghabiskan anggaran rekonstruksi lebih dari Rp 40 triliun untuk Aceh dan Nias serta sekitar Rp 1,6 triliun untuk Jogjakarta.

Karena itu, tindakan mitigasi bencana harus menjadi tanggung jawab dan kehendak bersama dari seluruh komponen bangsa. Sebab, sangat tidak mungkin untuk mengandalkan pemerintah semata untuk menangani bencana alam, khususnya dalam proses pengurangan risiko bencana. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah mengamanatkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengurangan risiko bencana.

Posisi Strategis Pondok Pesantren

Untuk membangun kesadaran kolektif terhadap ancaman bencana yang sewaktu-waktu terjadi, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Salah satu komponen yang jumlah dan potensinya sangat besar di Indonesia adalah pondok pesantren.

Pondok pesantren merupakan salah satu wadah pendidikan yang menjadi ciri khas Indonesia. Pada awalnya, pondok pesantren didirikan oleh ulama untuk mengajarkan nilai-nilai agama Islam. Santri belajar di pondok pesantren dalam kurun waktu tertentu, untuk selanjutnya ikut berdakwah dan mengajarkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat. Dalam perkembangannya, pondok pesantren tidak hanya mengajarkan keislaman. Berbagai ilmu non keagamaan juga diajarkan di pesantren.

Berdasarkan Data Departemen Agama 1999/2000, jumlah pondok pesantren di Indonesia mencapai 9.818 buah. Jumlah tersebut sekarang diyakini sudah bertambah karena para alumni pondok pesantren ada kalanya juga mendirikan pesantren yang baru di lingkungannya.

Dengan jejaringnya yang sangat besar dan merata di seluruh Indonesia, pondok pesantren memiliki posisi yang strategis untuk terlibat dalam kampanye pengurangan risiko bencana di masyarakat. Ada beberapa alasan mengapa pondok pesantren harus dilibatkan pemerintah dalam membangun kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana.

Pertama, pondok pesantren dipimpin ulama yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Dengan modal sosialnya itu, sang ulama bisa turut membangun kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana. Dalam banyak kasus, pengaruh tokoh non formal, seperti para ulama, jauh lebih ditaati oleh masyarakat daripada pengaruh tokoh formal atau pemerintah.

Kedua, pondok pesantren memiliki santri yang jumlahnya besar. Di beberapa pesantren, jumlah santri bisa mencapai ribuan orang yang berasal dari seluruh Indonesia. Setelah para santri menyelesaikan pendidikannya di pesantren, mereka akan kembali ke daerah asalnya masing-masing untuk berdakwah dan mengabdikan diri.

Artinya, para santri sejatinya bisa diberdayakan untuk menyebarluaskan upaya-upaya pengurangan risiko bencana di daerahnya. Tanpa harus membetuk struktur dan merekrut personel yang baru, pemerintah sudah memiliki ribuan orang yang siap mengampanyekan pentingnya kewaspadaan terhadap bencana. Dan yang terpenting, upaya ini memiliki biaya yang “murah” dan tersebar merata di hampir seluruh daerah di Indonesia.

Ketiga, setiap pondok pesantren memiliki majelis atau forum pengajian dengan basis pengikut yang sangat besar. Misalnya, manakib yang rutin dilaksanakan di Pondok Pesantren Al Qodiri, Jember, Jatim. Pada setiap manakib, puluhan ribu orang dari berbagai daerah berkumpul dalam kegiatan tersebut. Melalui majelis-majelis pengajian akbar semacam itulah sang ulama bisa menyisipkan pesan-pesan moral pada masyarakat untuk lebih mencintai lingkungan, waspada terhadap ancaman bencana, dan semacamnya.

Menyusun Agenda Aksi

Dengan melihat posisi pondok pesantren yang sangat strategis dalam kegiatan mitigasi bencana, pemerintah perlu merancang agenda aksi untuk mengoptimalkan peran lembaga pendidikan non formal ini. Dengan agenda aksi yang jelas dan terstruktur, diharapkan peran pondok pesantren dalam pengurangan risiko bencana bisa dimaksimalkan.

Ada beberapa agenda aksi yang perlu diakomodasi pemerintah untuk meningkatkan peran pondok pesantren dalam mitigasi bencana. Pertama, memetakan pondok pesantren yang ada di Indonesia. Jumlah pondok pesantren di Indonesia sangat banyak dan tersebar di seluruh Indonesia. Karena itu, tidak mungkin pemerintah akan menggarap seluruh pondok pesantren dalam waktu yang sama. Karena itu, diperlukan penyusunan skala prioritas. Untuk menentukan skala prioritas, pemerintah bisa menggandeng dan menggarap pondok pesantren yang berada di sekitar daerah rawan bencana lebih dahulu.

Kedua, penguatan kapasitas pondok pesantren dalam mitigasi bencana. Kapasitas yang dimaksud bisa berupa sumberdaya manusia, sarana prasarana, kearifan lokal, dan sebagainya. Pondok pesantren yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya sudah memiliki organ bernama santri siaga bencana (SSB). Dengan keberadaan SSB ini, pemerintah bisa mulai melakuan berbagai upaya peningkatan kapasitas, baik melalui pendampingan, pelatihan, simulasi, stimulasi anggaran, penyediaan sarana prasarana, dan sebagainya.

Ketiga, modal sosial yang telah dimiliki pondok pesantren, seperti SSB dan sejenisnya, perlu didorong untuk membangun komunikasi dan kedekatan dengan masyarakat. Salah satu instrumen yang cukup efektif adalah sosialisasi melalui forum-forum pengajian dan majelis keagamaan yang selama ini sudah mengakar di masyarakat. Saluran-saluran komunikasi yang memungkinkan dimasuki para santri bisa dipakai sebagai alat untuk membangun kesadaran masyarakat untuk waspada terhadap risiko-risiko bencana.

Keempat, pemerintah bisa menginisiasi terbentuknya jejaring pondok pesantren siaga bencana. Tujuannya, agar pondok pesantren bisa bersinergi dengan komponen masyarakat lain yang selama ini memiliki kepedulian terhadap bencana, seperti LSM lingkungan hidup, organisasi pecinta alam (OPA), taruna siaga bencana (tagana), dan berbagai organ kemasyarakatan yang lain. Sudah saatnya pondok pesantren meningkatkan perannya untuk peduli terhadap program pengurangan risiko bencana. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun