Mohon tunggu...
Hari Setiawan
Hari Setiawan Mohon Tunggu... -

Penulis, juga seorang jurnalis. Bercita-cita menjadi pebisnis, kini merintis sebuah organisasi nirlaba agar bisa memberi manfaat pada sesama. Khairunnaas 'anfa'ahum linnaas...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengunjungi Sekolah Indonesia Bangkok di Thailand

21 November 2013   20:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:50 2541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hei Rayhan, kok pura-pura tidak tahu sama Bu Wati ya? Masak tidak kelihatan Bu Wati?” sapa perempuan paro baya itu kepada seorang murid SD kelas 4. Si murid pun dengan tersipu menghampiri perempuan itu sambil menjabat tangannya.

Murid yang bernama Rayhan tersebut siang itu baru selesai ujian akhir semester (UAS). Keluar dari kelas, dia menuju mesin presensi. Karena tinggi badannya kurang, dia naik ke sebuah dingklik (kursi kecil, Red) plastik untuk bisa mengisi daftar hadir sekolah sebelum pulang.

Selain menggunakan pemindai sidik jari, mesin presensi itu juga secara otomatis memotret wajah, terutama bagian sekitar mata, dari murid yang bersangkutan. Seluruh murid SD, SMP, dan SMA harus melakukan hal yang sama agar tercatat di daftar hadir sekolah.

Perempuan ramah itu bernama Tjatur Prasetyawati, kepala Sekolah Indonesia Bangkok (SIB). Sekolah yang berdiri sejak 1962 itu berada di belakang kompleks Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bangkok, Petchburi Road, Bangkok. Lokasi KBRI sendiri berada di kawasan bisnis yang padat dan super sibuk di Bangkok.

Jumlah murid SIB saat ini mencapai 76 orang, yang duduk di bangku TK, SD, SMP, dan SMA. Mayoritas murid sekolah yang dimulai pukul 08.00 hingga 15.00 tersebut adalah anak-anak staf KBRI. “Lebih dari 50 persen yang sekolah di SIB adalah putra-putri diplomat dan staf KBRI. Sisanya putra-putri warga Indonesia yang bekerja di Bangkok,” kata Tjatur.

Rayhan Shah, sang murid yang disapa Wati menjelang pulang sekolah itu, adalah salah satu putra staf KBRI Bangkok. “Kalau ayahku kerja di Toyota,” ujar Rafi Ramadhan, teman sekelas Rayhan.

Kemarin (5/6), para murid di SIB, terutama yang kelas 1-5 SD, kelas 7-8 SMP, dan 10-11 SMA tengah menjalani UAS. Jadwal UAS mereka hampir sama dengan sekolah lain di tanah air. “Ujian nasional (unas) pun jadwalnya sama. Soal di kami tidak ada masalah,” kata Wati, ketika ditanya apakah pelaksanaan unas di SIB juga kisruh seperti di tanah air.

Kegiatan belajar mengajar (KBM) di SIB hampir sama dengan sekolah lain di tanah air. Yang membedakan hanyalah jumlah murid yang lebih sedikit. “Buku yang dipakai sama dengan yang di Indonesia. Ada kalanya kami minta kiriman buku dari saudara di Indonesia. Sekolah sudah memberi daftar buku pelajaran yang dipakai,” kata Muthia Putri Alawiyah atau yang biasa disapa Lulu, seorang murid kelas 10 SMA di SIB.

Bahasa pengantar yang dipakai di SIB adalah bahasa Indonesia, kecuali untuk bahasa Inggris. Untuk mata pelajaran bahasa Inggris, SIB mendatangkan seorang native speaker. Di SIB, para murid diajarkan pula bahasa Thai. “Bahasa Thai diajarkan untuk muatan lokal,” ungkap Wati.

Lulu sendiri tidak membutuhkan waktu lama untuk penyesuaian dengan sekolahnya yang baru. Bagaimana pun, setelah belajar di sebuah SMP RSBI di Bandung, Lulu harus menyesuaikan diri untuk belajar di SIB. “Sebenarnya malah lebih enak di SIB karena muridnya sedikit, belajarnya lebih efektif,” tandasnya.

Keberadaan SIB sendiri sangat penting bagi warga negara Indonesia yang membawa serta anak-anaknya ke Bangkok. Karena, di SIB anak-anak Indonesia mendapat pengajaran bahasa Inggris sekaligus bahasa lokal, tanpa meninggalkan bahasa dan kultur Indonesia.

Karena itu, kata Wati, mayoritas anak-anak diplomat dan staf KBRI menempuh pendidikan di SIB. Demikian pula dengan anak-anak warga Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan asing di Bangkok. “Kalau pun tidak di SIB, biasanya orang Indonesia menyekolahkan anaknya di sekolah internasional di Bangkok, bukan di sekolah lokal,” ungkapnya.

Mengenai biaya pendidikan di SIB, Ghofar Ismail, salah seorang wali murid di SIB mengatakan, besarnya disesuaikan dengan gaji orang tua. Sehingga, biaya pendidikan setiap murid di SIB tidak sama. “Anak pertama biayanya 2 persen dari gaji pokok orang tua. Untuk anak kedua dan seterusnya biayanya 1 persen dari gaji pokok,” paparnya.

Karena biaya pendidikan di SIB berdasarkan persentasi gaji orang tua wali murid, besarnya biaya setiap murid tidak sama setiap bulannya. “Ada yang sebulan Rp 1 juta, tapi ada juga yang bayarnya sebulan hanya Rp 100 ribu atau 300 bath. Setiap anak tidak sama,” katanya.

Ghofar sendiri lebih sreg anaknya belajar di SIB. Sebab, anak-anaknya tidak pernah kehilangan dengan bahasa dan budaya Indonesia, tetapi juga mendapatkan tambahan kemampuan bahasa Inggris dan Thai.

Alumnus SIB sendiri saat ini sudah tersebar di seantero dunia. “Ada yang sudah menjadi dirjen (direktur jenderal, pejabat eselon I, Red) di Kementerian Luar Negeri. Tetapi, ada juga yang menjadi penyiar radio Thailand. Bisa dibayangkan ya, kalau sudah menjadi penyiar radio Thailand, bahasa Thailand-nya pasti bagus,” tutur pria berkacamata ini.

Semakin merangkak sore, suasana SIB siang itu semakin sepi. Sebagian besar muridnya sudah pulang. Hujan yang sejak menjelang siang mengguyur Bangkok mulai mereda. “Saya akan menuntaskan tugas saya sampai tiga tahun yang akan datang. Saya cukup terhibur dengan anak-anak di sini,” ujar Wati. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun