Ternyata udara pagi benar-benar segar untuk aku hirup saat sang fajar mulai bersinar di ufuk timur, kabut mulai memutih di jalanan dan hamparan padi yang berjuta-juta hektar. Berbagai macam manusia aku temui, anak-anak bersepeda, nenek-nenek nyengir, ibu-ibu mengasuh anak dan ibu-ibu yang menjajakan jualannya di pinngir pasar tradisional.
Aku lihat ibu-ibu yang mulai menjajakan jualannya padahal jam masih 4.30 pagi, aku merasa pagi itu adalah kesempurnaanku. Disana aku melihat banyak hal seolah aku telah bangun dari tidurku.
Tak selang beberapa waktu aku pulang kekontrakanku temapt aku tinggal sama teman-temanku dari berbagai fakultas dan jurusan. Aku sekarang berada didesa orang untuk melaksanakan tugas kampusku.
Dari sekian banyak teman-temanku ada perempuan yang aku perhatikan, tapi sifatnya yang cuek membuatku butuh waktu lama untuk menyelami hidupnya, Sebut saja namanya Meida. Sebenarnya dia baik tapi sifatnya yang cuek menutupi kebaikannya. Pagi itu aku ingin minum secangkir kopi, lama aku tak minum kopi buatannya, saat dia melintas di depanku aku panggil.
“Hai Meida aku ingin secangkir kopi buatanmu lagi”
“Hem boleh tapi tunggu dulu ya Faiz” nadanya lirih.
“Ya Mei, tapi kalau masih sibuk lanjutkan dulu”
“Ya iz, nie masih mau masak nanti skalian aku buatin kopinya”
Teman-teman yang lain pada beraktifitas sendiri-sendiri, ada yang sibuk dengan laptopan sambil ngenet, ada yang sibuk ngerumpi sambil nyanyi dan aja juga yang tidur-tiduran sambil diskusi. Meida salah satu dari temanku yang care sama aku entah kenapa akupun tak tau. Awal aku ketemu, dia sukanya manyun dan agak sensi tapi sifat itu sebenarnya tak menjadi daging baginya. Visiku bagaimana caranya membuat dia senyum dalam keadaan apapun.
Seiring berjalannya waktu dia seolah mulai melepas sifatnya yang cuek yang suka manyun dan sensian. Sifatnya yang tersimapan darinya adalah perhatian, perhatiannya membuatku kangen padanya, tak habis fikir ternyata cewek yang cuek dan sensian juga perhatian.
Minggu pagi aku baru datang dari pengembaraanku menyusuri desa-desa yang di selimuti kabut padahal fajar mulai memerah dan menguning seperti warna emas di ufuk timur sana. mungkin hanya Meida yang mengerti aku. akupun tak mengerti saat aku melanjutkan pengembaraanku dalam mimmpi tiba-tiba ada suara yang membangunkanku eh, Ternyata Mieda.
“Iz bangun makan dulu, pasti kamu lapar”
“Hem ya Mei bentar lagi”
“Ini lo aku sudah siapin”
“Ya Mei makasih”
“Sama-sama, cepat makan”
lalu dia pergi kekamar untuk siap-siap kegiatan sama teman-teman yang lain, semua teman-teman pada siap-siap kebalai desa untuk melakukan aktivitas bersama warga, sedangkan aku masih diam di depan notebook Meida yang aku pinjam. Tanpa sebait kata dia meninggalkanku bersama teman-teman yang lain.
Tak berselang beberapa saat, dengan bajunya yang warna-warni dia melintas di depanku aku sapa dia.
“Kok pulang Mei?”
“Ya salah kordinasi, jawabnya Sambil meninggalkanku”
Hem akupun tak paham dengan jawabnya, 2 menit kemudian dia melintas lagi depanku sambil melanjutkan pembicaraan aku tanya lagi untuk memperjelas info itu.
“Apanya yang kurang kordinasi Mei?”
“Hem ya begitulah ketuanya, warga ternyta tak ada yang ngumpul”
“Hahaha kok bisa gitu?” Tanyaku sambil ketawa.
“Ya kurang kordinasi sama warga akhirnya acaranya amburadul” jawabnya jutek.
Sambil menyapu kontrakan hpnya bunyi entah telfon dari siapa akupun tak tau, sambil nyapu aku goda dia agar dia tersenyum, kadang-kadang dia seketika mayun. Lagi-lagi aku inginkan kopi buatannya, tapi dia masih nyapu dan sibuk nyuci mau tak mau aku harus menunggunya selesai dulu, aku tau pasti dia capek, “tapi aku hanya ingin tau seberapa besar sie prhatian dia sebenarnya” kataku dalam hati. Tak butuh waktu lama ternyata dia sudah selesai nyuci.
“Mei buatin aku kopi donk?”
“Hem ya bentar, buat berapa?”
“Satu saja untuk menemaniku saat aku ngetik aja”
“Oke bos” jawabnya sambil tersenyum.
Lagi-lagi senyumnya yang imut membuatku ingin selalu melihatnya dan ingin selalu menggodanya meski aku tau kalau dia sudah ada yang punya, katanya. Ya percaya atu tidak aku harus percaya karena aku hanya ingin melihat dia tersenyum untukku.
Entah apa yang aku rasa dan dia rasa aku tak tau, menurutku hanyalah biasa tak ada yang luar biasa karena kita hanya teman biasa. kopipun jadi, akhirnya aku bisa menikmati kopi buatannya lagi setelah lama tak minum kopi. Sambil aku menuliskan sesuatu dalam notebooknya aku minum kopi buatannya. Tepat di depanku tiba-tiba dia berdiri, aku punya kesempatan untuk melihat wajahnya yang manisnya dengan lama, aku biarkan pandanganku berlabuh di wajah imutnya.
Sekilas aku tatap matanya karena aku takut menggangu pandangannya, bola mata yang begitu indah. Sesekali aku teguk kopi buatannya, ternyata aku baru tau kalau kesempurnaan pagiku terletak dalam kopi buatannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H