Saya ingat sekitar beberapa minggu lalu mengangkat isu mahalnya PCR dan pewajiban tes PCR untuk keperluan screening penerbangan. Tulisan tersebut dimention ke Presiden Joko Widodo bersamaan dengan banyak suara-suara pendukung lainnya, dan mendapat respon positif dengan penurunan batas harga PCR dan pencabutan tes PCR sebagai syarat transportasi udara.
Kenyataannya, memang kebijakan pewajiban PCR itu memang memberatkan ekonomi kita dan menyusahkan rakyat yang butuh mobilitas untuk menghidupi dirinya.
Saya sendiri berharap dengan diturunkannya harga PCR, pihak-pihak yang selama ini berkepentingan dengan keuntungan luar biasa dari bisnis ini akan berteriak dan membuka kedoknya sendiri.
Sayangnya, isunya kemudian menjadi liar dengan terbitnya pemberitaan Tempo yang dengan tendensius menuduh menteri tertentu yang ada kaitannya dengan tes PCR. Hasilnya timbul kecurigaan konflik kepentingan dalam penanganan wabah.
Menteri-menteri yang dimaksud memberikan pernyataan pembelaan diri, dan beberapa dokter bersuara soal pentingnya tes PCR untuk terus menekan pandemi.
Apakah hal ini kemudian meredam keributan? Yang terjadi tentu saja seperti menyiram bensin ke api. Sikap reaktif dan defensif ini malah membuat kita tambah ribut dan makin banyak yang mencurigai adanya kepentingan di belakang test PCR.
Dan parahnya, pendukung Jokowi akhirnya malah terbelah antara yang membela dan yang menyerang menteri yang bersangkutan. Ujungnya yang diributkan malah reshuffe, bukan soal beban yang ditanggung masyarakat kita.
Sialnya, kita-kita yang memang cuma ingin menyuarakan beban masyarakat, malah seolah dituduh ikut-ikutan agenda menurunkan menteri tertentu.
Padahal harusnya yang difokuskan adalah harga reagen dan mesin analisa PCR yang sangat berpengaruh terhadap harga pokok penyediaan test PCR itu sendiri. Sejak awal pandemi, inilah yang selalu diributkan menjadi penyebab mahalnya harga test. Seiring semakin tersedianya kedua item tersebut, harga test pun makin turun.
Tempo, yang kemudian banyak dikutip media lain, menyatakan harga reagen ada di angka Rp 13 ribu, sementara Dicky Budiman, epidemiolog, menyatakan bahwa harga reagen tidak semurah itu, harganya ada di kisaran Rp 25 ribu hingga Rp 75 ribu. Siti Nadia Termizi dari Kemenkes punya keterangan berbeda, harga reagen harusnya di Rp 90 ribu.
Jika kita merujuk keterangan Kemenkes sebagai informasi termahal, maka harga reagen mencapai porsi 30 persen dari keseluruhan harga modal penyediaan test PCR. Maka jika yang kita inginkan memang harga test yang lebih terjangkau, harusnya vendor-vendor ini yang disorot dan bila perlu membuat transparansi berapa sebenarnya harga reagen PCR dan berapa jumlah reagen yang sudah mereka pasok ke laboratorium.