Kini, isu buruh anak kembali dihembuskan, dan mereka pun meradang. "Tidak ada itu, mana mungkin anak usia sekolah disuruh mengurusi sawit. Ada-ada saja," gerutu Pak Hasanuddin.
Hal serupa juga diungkap Vano, salah satu pekerja lepas di Leuwidamar. "Hoax! Bekerja di kebun sawit itu berat. Saya saja yang sudah dewasa belum tentu bisa. Alatnya saja itu besar dan berat sekali, gaet namanya. Bukan lagi parang kecil. Bagaimana mungkin anak-anak bisa menggunakan?" Jawabnya sambil tertawa saat saya coba menanyakan.
 "Mungkin ada beberapa anak petani atau pekerja yang ingin belajar menanam sawit. Biasanya itu untuk mendidik mereka untuk masuk dunia kerja nanti. Dalam kondisi seperti ini tidak mudah mencari pekerjaan di kota. Karena itu sesekali mereka belajar, memungkinkan mereka ikut bekerja saat lulus sekolah nanti."
 Bagi pemilik lahan kecil seperti Pak Husein, mewariskan kebun kepada anaknya juga bukan hal mudah. Sesekali ia mengajak Farhan, anak bungsunya yang memang bersekolah di SMK jurusan Agrobisnis, Pangan dan Agrikultur. "Itu juga paling memupuk dan mengawasi," ujar Farhan.
Â
Tidak yakin dengan kesaksian mereka, saya mengunjungi kebun lainnya di Cipicung, sekitar seperempat jam dari Kebun Pak Husein. Di sini saya tertegun melihat kebun sawit yang diselingi dengan nenas dan manggis.Â
Saya sapa pemiliknya, Pak Haji Satria. Ia juga membenarkan bahwa memang budaya mewariskan turun-temurun cara berkebun sudah jadi kebiasaan di Indonesia. Namun itu juga tidak menjadi alasan baginya untuk memaksa anaknya, Bayu bekerja berat. "Paling menemani saya saja di sini, bantu-bantu saja, tidak dibayar di sini."
 Isu buruh anak mengancam kehidupan pemilik lahan kecil seperti mereka. Namun tidak ada pilihan lain. Bagi Pak Husein, bekerja sendiri dengan kondisi tubuhnya yang tidak sekuat dulu jelas tidak memungkinkan.Â
Ia harus mempersiapkan anaknya untuk mengambil alih dengan pengetahuan yang lebih baik. Memelihara kebun sawit kecil adalah impiannya saat memasuki masa pensiun. Tapi mungkin mimpi itu bisa terkubur andai kampanye hitam kembali menyerang.
Â
"Ayo dicoba duriannya, dari kebun. Kecil tapi manis," Pak Husein menawarkan dengan ramah. Sambil menikmati manisnya durian, saya berpikir, tuntutan memadankan sawit dengan tanaman lain memang ideal, tapi tidak mungkin terwujud jika panen sawit mereka terus-terusan dibeli dengan harga mencekik.
Â
Karena hidup tidak pernah semanis durian Pak Husein.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H