Dingin sekali saat saya tiba di perbatasan Cirinten, Banten, pukul 2:00 dini hari. Sedingin rasa patah hati dengan kehidupan yang semakin sulit bagi semuanya dengan adanya pandemi.Â
Tidak ada yang tidak terbebani dengan kondisi saat ini. Namun rasa itu sedikit terobati dengan kabut yang menghiasi perkampungan sekitar, yang bisa diintip dari atas bukit. Indah dan asri sekali bak negeri di awan.Sesekali terdengar suara burung disahuti sayup sahutan dari suku asli, Baduy.
"
Coba ke arah Malimping, di situ banyak perkebunan rakyat. Kalau di Jasinga sini adanya teh milik perusahaan," saran Pak Alit, salah seorang karyawan PTPN VIII beberapa bulan lalu.Â
Saya ikuti pesannya dan akhirnya sampai di kebun kecil. Hanya ada beberapa batang sawit di pinggir jalan. Tapi saya yakin pemiliknya, Pak Husein, punya banyak cerita. Sebelumnya saya sudah pernah berkunjung ke sini.
"Bapak sedang sakit, dirawat di Pandeglang," ujar Farhan, anak Pak Husein. Jawabannya membuat saya mengerinyitkan dahi. Sebelumnya Pak Husein terlihat baik-baik saja, dan dialah satu-satunya kontak petani saya di Cirinten. Dengan perasaan tak menentu, saya susul ke Pandeglang. Di sini, untuk bisa dirawat di rumah sakit, harus menempuh jalan darat berjam-jam.
"Iya, saya kena serangan jantung," jawaban Pak Husein pendek. Napasnya tidak lagi selancar dulu. Padahal sebelumnya ia dengan bangga berjalan kaki naik turun di lahannya yang terjal, memperlihatkan pohon sawitnya yang diselingi berbagai tanaman seperti jengkol, kopi, petai, sampai durian.
Dari 200 batang sawit yang ditanam di 2 hektar kebun miliknya, ia bisa menghasilkan Rp 3-5 juta rupiah, belum termasuk panen buah tahunan. Inilah yang menopang keluarga untuk membayar biaya operasi dan perawatannya.
"Dari durian bisa 40 - 50 jutaan per tahunnya," sambung Pak Husein lagi.
Pak Husein memberitahu bahwa tumpang sari sebenarnya pasti dilakukan oleh petani kecil. "Masa berbuah sawit itu 3-5 tahun. Tidak mungkin uang saya dibiarkan tertanam begitu saja selama itu, pasti menanam tanaman selingan sambil menunggu sawit menghasilkan." Ini jauh berbeda dengan citra tanaman monokultur yang sering dijadikan senjata untuk menyerang perkebunan sawit di Indonesia.
 Adanya kampanye hitam terhadap sawit yang dituding merusak alam sangat memukul pemilik lahan kecil. "Dulu harga bagus, kami masih bisa hidup dari lahan seadanya. Sekarang harga jatuh sampai Rp 300-400 per kilogram. Mau makan dari mana?" protes Pak Hasanuddin.
 Hal serupa diungkap Pak Alit saat saya ajak berbincang di Jasinga. "Kalau untuk perusahaan besar mungkin masih bisa bertahan, tapi kasihan petani kecil kita. Sudahlah panennya sedikit, harganya juga jatuh."