"Sok atuh, dicoba," Pak Odin menawarkan dalam logat Sunda yang kental, sebuah nanas madu yang luar biasa besarnya. Saya baru tahu kalau nanas yang dipetik dan dimakan langsung di kebun berbeda jauh dengan yang kita beli di supermarket. Airnya menetes-netes dan lengket. Rasanya manis luar biasa, tidak ada rasa kecut atau tajam di lidah. Dari jarak satu meter saja, wanginya menusuk ke hidung.
"Tidak usah bayar, ambil saja. Panen saya masih banyak," tolak Pak Odin saat saya tawarkan lembaran hijau uang Rp 20.000 ke keranjangnya. "Kamu ke sini teh, meneliti, mahasiswa?" Tanyanya menyelidik.
"Ngga, Pak. Saya penulis. Â Buat dibaca orang luar."
"Bagus, bagus. Kasih tahulah orang luar hal bagus soal kita, jangan yang jelek-jelek terus," salah seorang temannya menimpali.
Memang kebun sawit yang saya temui ini adalah kebun milik perusahaan. Namun saya google di Subang sebenarnya banyak kebun sawit milik petani kecil. Dan keberadaan kebun-kebun sawit di sini mendorong pendirian fasilitas umum, salah satunya jalan. Kebun sawit yang ada membantu membuka isolasi ke tempat mereka tinggal.
Perjalanan saya dari Subang ke Sumedang tidak hanya beroleh cerita sawit. Saya juga belajar begitu sederhana dan efisiennya kehidupan para petani di bumi Parahyangan. Setelah jauh berburu kuliner unik hingga ke Wado, saya akhirnya menemukan masakan bernama kadedemes.
"Kadedemes teh sebenarnya masakan memalukan. Masa orang kota masih saja makan kulit singkong. Kaya ga ada bahan masakan lain saja. Kebangetan. Tah eta ta sumber nama kadedemes, artinya kebangetan. Hahaha!" Â Terang Pak Manyar.
Â
Kadedemes sebenarnya bagian dalam kulit singkong yang sering dibuang saat bagian dalam umbinya dinikmati. Namun penduduk lokal memanfaatkan kulit yang harusnya terbuang ini menjadi bahan tumisan. Mirip prinsip diet zen, bagian kulit sekalipun tidak boleh dibuang-buang. Alam menyediakan seluruh bagian dari tumbuhan untuk dikonsumsi, dengan berbagai khasiatnya.