Lanjutan dari cerita sebelumnya...
Jalan kaki ke belakang restoran, kita kemudian masuk ke area pendaftaran Pencalonan Presiden Alumni SMA Negeri 3 Bandung. Ramai sekali saat itu. Kang Hadi menowel pinggang saya, mengingatkan saya untuk tetap menggunakan masker hingga akhir acara. Memang saat ini angka positif pandemi sedang tinggi-tingginya dan beberapa kali Indonesia memecahkan rekor penularan.
"Integritas itu mulai dari perbuatan-perbuatan kecil yang benar-benar kita lakukan dengan disiplin. Sulit bagi saya meminta orang pakai masker dan berhati-hati agar tidak menularkan, sementara saya sendiri lalai pake masker pada saat ramai begini," bisiknya saat saya tanyakan apakah tidak gerah dalam ruangan tertutup seperti itu tetap saja ia menolak melonggarkan maskernya.Â
Dan benar juga. Saya sendiri jadi malu membuka masker saat Kang Hadi sendiri tetap teguh menggunakannya hingga akhir acara. Keteladanan adalah cara memimpin yang paling efektif.Â
Pulang dari pendaftaran, saya ngobrol lagi dengan Kang Hadi di kafe sekitaran Geger Kalong. Motornya ternyata Vespa keluaran beberapa tahun lalu. Bersih dan terawat. "Buat saya segala hal itu akan awet kalau kita perhatikan dan beri kasih sayang dengan sungguh-sungguh. Termasuk Vespa. Kalau kita beri perhatian, ia akan memberi kita kasih sayang balik."
Di kafe, kami ngobrol panjang lebar mengenai anak-anak yang dibina di SOS Children Village. "Ini bukan panti asuhan lho ya. Kami menolak konsep seperti itu," kata Kang Hadi setiap kali saya menyebutkan istilah "panti asuhan" yang ia kelola di Lembang itu.
"Di SOS Children Village kami merawat anak-anak itu layaknya keluarga. Berapa sih jumlah anggota keluarga paling banyak? Paling enam. Nah enam anak itu diberikan ibu asuh yang berdedikasi membesarkan mereka layaknya ibu kandung. Mereka ditempatkan di rumah yang layak, bukan ditampung di tempat tidur massal. Setiap anak dapat perhatian eksklusif yang mereka butuhkan," terang Kang Hadi. Bahkan makan, pendidikan, dan masa depannya diperhatikan.
"Sama saja dengan merawat ribuan anak-anak itu. Buat saya mengelola alumni juga seperti menciptakan sebuah keluarga. Tidak ada istilah bekas anak, seperti juga tidak ada istilah bekas alumni. Sebagai manusia, kita harus berkembang bersama, saling bantu. Apapun perbedaan status sosial, pandangan politik, agama yang dipeluk, apalagi sekedar masalah beda dukungan dalam pemilihan ketua alumni." Tukas Kang Hadi saat ditanya apa hubungannya karirnya selama ini di dalam dunia aktivisme dengan menjadi calon ketua alumni.
Kang Hadi kemudian meminta tolong kepada saya untuk dibuatkan beberapa video dan foto untuk keperluan kampanye. "Kita tidak perlu bikin kampanye dukung-dukungan ini itu. Cukup rangkaian cerita humble saja tentang siapa saya, apa yang sudah dilakukan, dan apa rencana ke depan."Â
Saya sepakat. Terlalu sayang rasanya kalau sampai alumni dari sekolah terbaik se Indonesia yang anggotanya ribuan orang itu sampai harus terpecah-belah lagi, padahal baru saja kita dalam proses rekonsiliasi pasca pemilu.Â
"Kang Hadi sudah menjadi figur yang kuat, punya sikap teladan, dan punya integritas. Semua sudah sadar itu. Kita buatkan cerita yang bisa orang-orang nikmati. Jika mereka merasa memiliki nilai yang sesuai dengan Kang Hadi, mereka akan milih juga pada akhirnya. Tidak suka lalu tidak pilih pun tidak apa. Tidak perlu bagus-bagus amat, yang penting Kang Hadi hadir menyapa mereka dalam video, bergerak dan nyata," usul saya. Dia mengangguk setuju. Â