Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bapakku Petani Sawit (dan Hal Penting yang Harus Kalian Rasakan)

3 Agustus 2020   04:56 Diperbarui: 8 Agustus 2020   20:32 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gajah itu paling suka pohon sawit kecil, karena batangnya masih lunak. Babi hutan juga begitu. Yang dimakan bagian bawah yang terpendam di tanah. Akhirnya pohon-pohon sawit yang baru ditanam bisa habis, membuat petani menangis." ungkap salah satu warga di sekitar.

Petani kecil juga yang paling pertama disalahkan, selain rakyat adat sekitar, jika sudah mulai terjadi kabut asap tahunan. Selama belasan tahun kami di Sumatera mengalami bencana ini.

"Padahal kalau penduduk asli sudah tahu batas membakar lahan. Tidak besar-besaran, secukupnya saja daerah yang ditanam. Kalau sudah cukup, apinya dikontrol, dipadamkan. Tak mungkin bisa sampai membuat sesak napas senegara." kata salah satu penduduk asli di Jambi yang pernah saya ajak ngobrol.

Betul seharusnya lahan tak dibakar, sekecil apapun. Namun selama belasan tahun itu pula tak pernah ada edukasi dan bantuan untuk membuka lahan sawit tanpa membakar. 

Baru pada tahun-tahun terakhir inilah mulai diperkenalkan bantuan membuka lahan dan regenerasi pohon sawit dengan cara lebih ramah lingkungan.

Aku ingat menjelang reformasi, kami harus berkali-kali libur sekolah karena di Riaulah salah satu provinsi paling parah asapnya. 16 tahun lebih kami mengalaminya.

Dan kemudian, saat dewasa, aku belajar bahwa asap itulah yang dipersalahkan oleh banyak negara yang kemudian mendiskreditkan minyak sawit sehingga harganya pun anjlok. 

Manisnya sawit tidak lagi dinikmati oleh keluarga kami, pun para petani upahan, dan pemilik sawit rakyat yang sebelum asap pun penghasilannya sudah mencekik. 

Padahal asap itu sudah mulai hilang 4 tahun belakangan. Harusnya tidak ada lagi alasan black campaign terhadap sawit yang menyengsarakan kami semua.

Jangan dibayangkan seperti negara maju yang petaninya mudah mendapat modal, dididik agar profesional, dan disubsidi oleh negara. Petani di sini nyaris tanpa bantuan. Jika harga jatuh, maka mereka harus menanggung beban sendiri. Baru lima tahun terakhir mulai marak asuransi pertanian, itu pun lebih banyak untuk petani padi.

"Harganya sudah jatuh, kita harus banyak berhemat," ungkap bapakku dengan muka prihatin. Harga sawit turun drastis sehingga kadang cuma cukup untuk membeli pupuk dan membayar petani penggarap. Sisanya terlalu sedikit untuk dinikmati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun