Gonjang-ganjing wabah COVID-19 memperjelas masalah-masalah yang terjadi di banyak negara. Termasuk soal cemoohan SJW dan kadrun yang selalu saja tidak puas dengan apapun yang dilakukan negara. Argumen "Negara ga siap!" dan "Ekonomi bisa diurus nanti, urusin wabah yang penting," satu per satu mulai rontok.
Banyak negara mulai menyadari bahwa memerangi wabah COVID-19 bukan sekedar urusan "testing, testing, testing," atau "Lokdan lokdon". Pengaruhnya bukan sekedar ke imunitas masing-masing individu, tapi juga terkait urusan perut.
Singapura adalah salah satu contoh paling tepat untuk menjelaskan ini. Setelah berbulan-bulan dipuja-puji SJW dengan kasus yang sangat sedikit dan test rate yang luar biasa, ternyata terbukti menyimpan bom waktu dengan adanya diskriminasi terhadap pekerja migran. Para pekerja yang banyak berasal dari Asia Selatan dibuat tinggal bertumpuk-tumpuk di dormitories (alias bedeng) dan sempat luput dari perhatian kesehatan, akhirnya menjadi bumerang yang menjadikan Singapura saat ini memiliki kasus tertinggi di Asia Tenggara.
Wabah COVID-19 ternyata berhubungan dengan diskriminasi dalam pelayanan oleh negara.
Begitu pula di Thailand. Negara ini sering dipuja-puja oleh SJW karena penurunan kasusnya terjadi cepat dan kini mulai membuka mal. Ternyata gambar yang disebarkan tidaklah seindah kenyataannya.
Di balik cerita berjubelnya kembali pusat belanja dan wisata di Thailand, ternyata ada peningkatan kasus bunuh diri di kalangan masyarakat kelas bawah yang dipaksa mengunci diri di rumah, namun tak tersentuh oleh bantuan. Akibatnya banyak yang terlanjur terjerat hutang dan memilih jalan bunuh diri untuk melarikan diri dari beban hidupnya.
India tak kurang menyedihkan. Negara yang juga dipuji SJW karena dengan cepat bereaksi menutup dan mengunci akses rakyat kecil, bahkan dengan kekerasan. Banyak kasus kematian dan dehidrasi akibat tidak adanya akses terhadap bantuan pangan di India menjadi viral. Ada pula yang meninggal karena dipukuli, akibat penerapan yang terlalu ketat.
Tentu SJW juga tak mau ambil pusing juga dengan penerapan lockdown di Venezuela yang tak memberikan hasil banyak karena ternyata negara tersebut mengalami masalah dualisme kepemimpinan dan hubungan luar negeri sehingga IMF menolak mencairkan bantuan dan tabungan emasnya di Inggris pun sulit dicairkan. Buruknya penanganan penyakit di Venezuela mengakibatkan banyak suku aslinya yang kemudian kabur melintasi batas dengan negara tetangga, Brazil, dan menghasilkan pening di kepala mereka.
Di Brazil, problem populisme Jair Bolsonaro membuat menteri kesehatannya silih berganti mengundurkan diri, sehingga aparat pun jadi kebingungan menerapkan aturan yang benar di akar rumput. Akibatnya walau juga sempat lockdown, Brazil kini menduduki kasus positif terbanyak no 2 di dunia.
Kamboja pun demikian. Dipuja-puja karena kasusnya sangat rendah, ternyata kini menghadapi kesulitan keuangan akibat terlalu berkonsentrasi kepada upaya pemberantasan wabah, melupakan ketahanan ekonominya sendiri.Â
Bahkan kini posisi Hun Sen banyak diperkirakan akan terancam karena banyaknya rakyat menderita akibat penerapan kebijakan yang terlalu ketat sehingga mematikan banyak industri dan usaha kecil, memberikan pengaruh buruk kepada 150 ribu tenaga kerja yang terancam tak lagi memiliki penghidupan. Angka yang luar biasa jika dibandingkan dengan total penduduk Kamboja yang hanya 16 juta, mirip dengan DKI Jakarta.