"Ngapain wisata ke tempat serem, isinya orang mati?" Tanya Ika, teman saya yang bertemu di jalan saat traveling. Dahinya mengerinyit.Â
Memang di Indonesia ini konsep wisata religi belum begitu populer, walaupun sebenarnya jamak dipraktekkan. Setiap menjelang Ramadhan, makam-makan di seluruh Indonesia akan penuh dengan orang nyekar atau sekedar berziarah ke makam keluarganya. Beberapa sudah berusaha mengurut kembari keturunan keluarganya.Â
Memang itulah gunanya wisata religi di pekuburan. Selain membangkitkan spiritualitas, kita juga bisa menelusuri sejarah dan garis keturunan keluarga. Itu jugalah yang menyebabkan situs-situs seperti Museum Prasasti atau Pemakaman Petamburan selalu dipenuhi turis-turis bule yang ingin mengunjungi kembali kakek-nenek buyut mereka dari masa lalu. Bukan untuk mendapatkan ilham, tapi menghargai asal-usul mereka.Â
"Kuburan orang-orang Jepang ini adalah tempat bersemayamnya korban pertempuran era perang dunia kedua. Baik pemerintah Jepang maupun warganya sering datang, membersihkan, dan mengheningkan cipta tiap tahun di sini," ujar Ira Lathief, salah satu tour guide kawakan di Jakarta, saat membawa saya dan teman-teman dalam paket tour bersama saat launching bukunya, Normal is Boring.Â
Perlahan saya belajar satu per satu tokoh yang berperan dalam sejarah Batavia. Mulai dari para saudagar gula, pemilik pabrik, pendeta-pendeta, hingga beberapa sinyo dan pemberontak yang makamnya dipermalukan sedemikian rupa untuk mencatatkan dirinya adalah tokoh yang dibenci.Â
Tak ketinggalan berbagai tragedi yang pernah terjadi di Batavia, semisal wabah penyakit yang membunuh hampir semua warga, sehingga waktu itu harapan hidup hanya sekitar 30an tahun. Semua orang mati muda.Â
"Sebenarnya kan almarhum itu orang baik sekali. Dia disenangi oleh banyak warga di sekitar. Itulah kenapa keluarganya tidak perlu repot-repot menguburkan di pemakaman khusus kristen atau di gerejanya. Kami mengurusi keperluan penguburannya bersama-sama. Bersepakat.Â
Cuma ya karena baru kali ini ada yang kristen di kompleks ini, maka kami pun berunding, bagaimana cara memakamkan beliau, eh lalu ribut karena komentar-komentar orang luar," demikian Mbah San, warga setempat, menerangkan. Ia menegaskan bahwa warga tidak pernah bermasalah dengan kepercayaan yang berbeda, karena buktinya mereka yang nyekar di makam tidak pernah diusir.Â