Saya sudah mengiringi Jokowi sejak 2011, sejak ia masih wali kota Solo. Banyak orang yang menyangka bahwa dengan sikap tubuh klemer-klemernya, bapak satu ini, yang keturunan Boyolali, akan mudah ditekan. Nyatanya, nyaris tidak ada satu orang pun yang bisa menahan ia kalau sudah firm dalam sebuah keputusan, termasuk dalam urusan menunjuk atau memecat posisi seseorang yang dianggap tidak perform maupun tidak loyal.
"Pak Jokowi itu lebih kejam kalau urusan pecat-memecat lho. Gue ngomel ya ngomel aja. Tapi gue ga tegaan sebenarnya mecat orang. Kalau Pakde mah dia bilang ganti, besok diam-diam aja kursi tuh orang udah hilang," Demikian kira-kira testimoni Ahok mengenai ketegasan Jokowi.Â
Dengar-dengar dari beberapa orang dekatnya Pakde, demikian ia biasa dipanggil, memang kalau sudah ambil keputusan, ia sulit dinegosiasi lagi. Bahwa akibat dari keputusannya yang firm tersebut muncul masalah baru, yang penting dikerjakan dulu.Â
Contohnya saat ia ditekan dengan hashtag berbulan-bulan dari kelompok yang ngakunya relawan anti pamrih, @partaisocmed dan #99army, untuk segera memecat Budi Karya Sumadi dengan alasan tiket pesawat mahal, ia bergeming.Â
Budi Karya malah kemudian melenggang ke periode kedua. Malah pendahulunya yang digadang-gadang sebagai penuh prestasi dan sempat nyinyir soal Stasiun Manggarai, Ignasius Jonan, yang kemudian terlempar dari Kabinet.
Ibarat senjata tajam untuk membunuh, ketenangan Pak Jokowi ini jauh dari tipe senjata machete (parang) yang high profile, namun lebih mirip pisau lipat yang walaupun kecil dan terlihat ramai, ketajaman pisaunya tidak diragukan lagi. Yang melawan atau berusaha mencampuri keputusan yang merupakan hak prerogatif Pakde, pelan-pelan senyap suaranya, tergebuk satu per satu.Â
Pun demikian Susi Pudjiastuti, yang kemudian ternyata tidak diberikan kesempatan kedua untuk meneruskan jabatannya. Terus terang saya pun menyayangkan keputusan ini.
Tapi dengar-dengar dari testimoni Dahlan Iskan yang kemudian banyak beredar, Bu Susi memang menciptakan masalah komunikasi yang begitu buruknya, sehingga menyulitkan yang lain bekerjasama untuk mengimbangi Kementerian Kelautan dan Perikanan.Â
"Dia dianggap sulit diajak koordinasi oleh Menkonya. Rumornya begitu seru: tidak mau diajak rapat! Bu Susi dikenal sangat berprinsip. Nasionalis. Juga sangat berprestasi. Boleh dikata penangkapan ikan oleh perahu asing tidak ada lagi. Ikan menjadi begitu banyak di laut. Tapi pusat ikan di Bitung menjerit. Tidak dapat ikan. Demikian juga pusat ikan lainnya. Ikan memang menjadi banyak. Tapi untuk apa kalau tidak ditangkap?"
Maka walaupun saya juga tidak puas pengganti Bu Susi malah dari Gerindra, dan tetap menghargai berbagai kinerja Bu Susi, saya bisa memahami mengapa beliau tak terpilih lagi.
Dari awal pemanggilan calon menteri, ia sudah menegaskan bahwa rekonsiliasi, masuknya investasi, dan modernisasi industri, adalah hal-hal penting yang hendak diperbaiki dalam periode II ini.