Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menziarahi Makam Jambon, Memaknai Ulang Toleransi

26 September 2019   20:17 Diperbarui: 27 September 2019   01:57 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nisan Terpancung, Makam Jambon. Dokpri

Hari beranjak senja saat saya sampai di sekitaran Desa Jambon, atau lebih tepatnya kompleks di sekitar Makam Jambon, pertigaan di samping SD Islam Terpadu Luqman Hakim.

Langit sudah mulai jingga, dan saya mulai khawatir makam yang terkenal karena kasus salib yang terpotong pada tahun 2018 lalu itu tak juga berhasil ditemukan. Jika hingga mentari tenggelam dan nyamuk semakin ganas menyasar betis saya yang tak tertutupi celana, maka mau tak mau saya datang ke Kotagede, Jogja dengan tangan hampa.

Rugi rasanya, padahal seharian itu saya sudah berusaha melewati udara panas berdebu. Tenggorokan saya sampai gatal terbatuk-batuk, keringat mengucur.

Saya lihat lagi berita di detik, katanya di  Kelurahan Purbayan. Namun sudah sejak tiga jam lalu saya berkeliling Purbayan, Kota Gede, tak juga bersua ada tempat bernama Makam Jambon di Google Map.

"Oh Makam Jambon? Lurus saja nanti ada perumahannya lagi, kecil aja itu di arah selatan." Jawab penduduk sekitar. Di Jogja, kita harus membiasakan diri dengan navigasi ala burung merpati, hanya ada barat, timur, selatan, dan utara. Tak ada petunjuk belok kiri, kanan, maju, atau mundur.

"Masih jauh, Bu?" Tanya saya meyakinkan.

"Ga, dekat kok. Perempatan pertama di depan ini, belok ke barat. Ketemu taman kecil. Nanti setelah taman ada belokan pendek, ada makam, itu Makam Jambon, njeh?"

Perumahan itu adalah perumahan yang asri. Semakin ke tengah, semakin kelihatan karakternya sebagai kompleks warga dengan penghasilan menengah. Tidak kaya kaya amat, tapi setidaknya beberapa di antaranya memiliki mobil yang diparkir, kebanyakan keluaran tahun 90an akhir.

Bau khas kuburan tercium beberapa puluh meter jelang Makam Jambon, menegakkan bulu kuduk. Saya agak akrab dengan suasana pemakaman karena dulu mengerjakan skripsi soal nisan.

Bagi yang hidungnya cukup tajam dan sensitif, sebenarnya dari dalam tanah akan tercium selayang bau hasil pembusukan jasad manusia, ditambah lagi memang bangunan kuburan rata-rata memang tidak dirawat serutin rumah tinggal, sehingga kadang binatang buang air seenaknya.

doikpri
doikpri
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," sebuah tulian dalam aksara arab menyambut, bersama tulisan setengah melingkar, bertuliskan "Makam Jambon". Warna pink agak jingga berpadu dengan kelabu bebatuan tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun