Ada setangkup harum, dalam rindu...
Bait dari lagu KLA Project ini pasti akan selalu diingat semua orang yang lahir sebelum tahun 2000. Jogja memang ngangenin. Tapi kok ya bosen juga kalau ke Malioboro melulu, pikir saya.Â
Sudah empat atau lima kali saya ke Jogja sejak kecil, selalu tujuan wisata ke jalanan panjang tersebut. Yang dimakan kalau tidak burung dara ya pecel lele, sehingga rasanya belum lengkap perjalanan wisata saya. Maka semenjak di Terminal Tirtonadi, Solo, saya sudah meniatkan akan ke tempat selain Malioboro.
Buka Google Map, saya jadi nemu informasi kalau Kota Gede persis ada di utara Terminal Giwangan. Saya jadi teringat kasus nisan terpancung yang pernah terjadi di sana tahun lalu dan berniat ke sana.
"Berapa ongkosnya, Mba ke Jogja?" Saya bertanya kepada mba cantik berjilbab di sebelah saya. "Duapuluh ribu, Mase," Jawabnya sambil tersenyum menawan sekali. Mungkin dialah bidadari yang dibayangkan Katon Bagaskara saat menciptakan lagu Jogja.
Saya lebih memilih makan sate sambil menunggu pagi di depan terminal. Ada Warung Sate Batusangkar di sana, dan memang satenya besar-besar dan enak. Harganya juga murah sekali.
Subuh menjelang, seorang bapak tua menawarkan saya untuk mengelilingi Kota Gede. "Ayuk, saya bawa motornya pelan-pelan kok. Wong udah tuak, hehehe," Dia terkekeh saat saya berpesan tolong jangan ngebut karena saya sudah mengantuk sekali karena tidak tidur-tidur dari tadi malam. Kami lalu berlalu di jalanan sempit diapit rumah-rumah tua. Saya lihat berturut-turut papan nama menawarkan perhiasan perak.
Kampung di sekitaran Kota Gede memang dipenuhi oleh pengrajin perak, demikian penjelasan dari kakek pengojek yang mengantarkan saya. "Mau ziarah juga bisa, ada makam raja-raja Mataram di sekitaran sini. Saya turunkan di sana aja?" Setelah ia mendengar penjelasan saya kalau cuma ingin jalan-jalan random saja ke Kota Gede. Saya menolak dan minta diturunkan saja di pasar tradisional setempat.