Namanya Philips, bule asal Perancis yang sudah menetap 25 tahun di Aceh. Kampungnya Mersailles. Ia menikah dengan perempuan muslim yang ditemuinya di Medan. Berdua, pasangan romantis ini menggarap Penginapan Marifi Guest House tepat di seberang Pantai Pasir Putih, Pulau We yang cantik. Mereka membangun dengan susah payah sedikit demi sedikit karena dulunya katanya Philips bukan bule kaya.
Tapi terus terang Marifi Guest House jauh lebih baik dari penginapan 200-300 ribuan milik warga lokal yang sudah saya coba di sepanjang Sumatera. Philips dan istrinya mengerti sekali nilai hospitality dan layanan prima. Rp 130 ribu sudah dapat double bed, kamar mandi dalam, dan AC. Sepreinya bersih dan harum, bahkan diberikan pula seprei cadangan kalau yang asli kotor.
Saat saya cerita bahwa saya sudah 3 hari kurang tidur sesampai di Pulau We, dia ketawa keras dan panjang, lalu mempersilakan saya menginap. Bule petualang seperti dia pasti mengerti lelahnya perjalanan panjang. "Saya juga senang nyetir.Â
Seisi Aceh dan Sumut saya jelajahi tapi ga kaya kamu, pake mobil baru. Saya pakai Panther tua.." Mak.. saya intip Panthernya benar-benar sudah tua. Atapnya sudah bocor ditambal seadanya dengan dempul. Kalau benar bertualang, pasti bule ini benar-benar menikmatinya.
Philips bahkan bercerita bahwa orang-orang Perancis yang masih muda memang hobinya bertualang juga seperti saya. Bawa kompor dan makanan sendiri, numpang di kebun orang untuk bikin api unggun dan memasak. "Datanglah ke Perancis sekitar bulan Oktober," Katanya. "Bakal ketemu banyak anak-anak muda Perancis seperti kamu yang mencari petualangan."
Philips antusias saat saya beritahu saya keliling Sumatera untuk mendata kinerja Jokowi sambil membangun jaringan relawan. "Berikan saya satu kaos Jokowinya! Istri saya juga. Nanti kita foto bertiga," demikian janjinya. Dan benar, di akhir petualangan di Sabang, dia ingat untuk pakai kaos itu dan mengajak foto bertiga dengan kaos #JKWadalahkita
Saya tentu heran kenapa dia ikut-ikutan dukung Jokowi. Apa karena senang dengan citranya sebagai wong ndeso? Merakyat? No.. sebagai seorang bule, Philips sangat logis dan realistis memandang Politik. "Saya juga senang SBY, kerjanya bagus. Dilanjutkan dua periode. Saya itu pusing di Indonesia kalau ganti kepemimpinan, maka kebijakan juga dibongkar. Proyek setengah jalan lalu terbengkalai. Ganti walikota, ganti gubernur, ganti presiden, semua jadi berubah."
Jadi bagi Philips, mendukung Jokowi sebenarnya bukanlah karena dia suka karakternya. Yang paling penting adalah efek yang dirasakan ke masyarakat di bawah. Mungkin saja ada yang lebih baik dari Jokowi, namun jika 2019 dia diganti seperti teriakan banyak haters, terbayang Indonesia harus membongkar ulang semua pembangunan infrastruktur yang sudah terlanjur setengah jalan. Karena itulah sistem politik yang berlaku di Indonesia. Ganti pemimpin, ganti kebijakan. Ujungnya rakyat yang harus pusing menyesuaikan diri.
"Sebagai tata krama bertamu.." kata saya "ini saya bawakan untuk Pak Philips beberapa minuman dan penganan khas Sumatera dari provinsi yang saya lalui." Lalu saya beri bungkusan berisi Teh Kayu Aro dari Kerinci, Kopi Kerinci, Teh Prenjak dari Bengkalis, dan Dendeng vegetarian dari Solok." Philips sangat mengapresiasi hadiah tersebut.Â
Saya jelaskan juga bahwa memberikan tamu memberi hadiah atau oleh-oleh adalah bagian dari adat istiadat di Indonesia. Ya, saya merasa datang ke penginapannya sebagai tamu, bukan pelanggan yang minta dilayani.
Sebagai balasannya karena dihormati sebagai tuan rumah, dia banyak memberi saran ke mana saja harus berkeliling Sabang. Bahkan tempat memancing pun diberi tahu. "Saya dapat segini," katanya sambil membayangkan ikan serentangan tangan dari dada kiri ke dada kanan. Luar biasa, memang Sabang sangat alami dan terbukti saya dalam 2 jam memancing di tempat yang dia tunjukkan langsung dapat belut laut lumayan besar untuk 3 kali makan.