Mohon tunggu...
Harfin Sasmita
Harfin Sasmita Mohon Tunggu... -

Abdi Negara yang mencoba mengabdi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Langsung, Perlukah?

27 September 2014   02:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:21 2411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Permasalahan pemilihan kepala daerah akhir-akhir ini mencuat sebagai Top Topic di kalangan masyarakat Indonesia. Politisi, pengamat politik, mahasiswa bahkan akademisi secara terbuka menyuarakan pandangan dan pendapat mereka perihal disahkannya RUU Pilkada menjadi UU Pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat tadi malam. Tentu yang menjadi sorotan semua pihak adalah isi dari UU Pilkada yang baru yang mengalihkan wewenang untuk memilih kepala daerah dari masyarakat kepada anggota DPRD. Artinya pemilihan kepala daerah tidak lagi diselenggarakan secara langsung.

Dari berbagai pendapat yang berhasil saya himpun baik dari media televisi maupun media sosial, kebanyakan menentang dan menyesalkan perubahan sistem pemilihan kepala daerah. Golongan masyarakat ini merasa pemilihan kepala daerah secara langsung adalah bukti penegakan demokrasi di Indonesia dan menghindari adanya praktik KKN antara calon kepala daerah dan anggota DPRD yang mengusungnya. Calon kepala daerah bisa saja dijadikan cash cow (sapi perah) oleh anggota DPRD agar dapat terpilih menjadi kepala daerah dan tentu saja mempengaruhi kinerjanya saat sudah menjadi kepala daerah seperti walikota, bupati dan gubernur. Faktor lain yang menjadi masalah bagi kalangan masyarakat penolak pilkada tidak langsung adalah kinerja anggota DPRD yang masih minim prestasi cenderung mengecewakan masyarakat termasuk juga maraknya kasus korupsi anggota DPRD semakin meningkatkan rasa tidak percaya publik akan kapasitas anggota DPRD memilih kepala daerah.

Terlepas dari opini kalangan yang menolak pilkada secara tidak langsung, saya sebagai pihak yang netral pada awalnya menentukan sikap bahwa tidak ada salahnya untuk menyerahkan tugas memilih kepala daerah kepada anggota DPRD. Bukan karena saya menganggap anggota DPRD sudah memiliki kinerja baik sehingga layak untuk memilih kepala daerah melainkan:

1.Konstitusi mengizinkan

Konstitusi di Indonesia tidak mewajibkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengamanatkan untuk memilih kepala daerah secara demokratis. Berbeda dengan Pemilu maupun pemilihan presiden yang pelaksanaannya diwajibkan secara langsung. Jadi di sini saya tidak melakukan pembelaan kepada pihak yang mengajukan RUU Pilkada  secara tidak langsung karena secara hukum mereka berhak dan secara konstitusi mereka tidak melanggar.

2.Pilkada secara langsung belum diperlukan menurut pendapat saya secara pribadi

Dalam poin ini saya melakukan pembelaan kepada perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari secara langsung menjadi tidak langsung (perantara anggota DPRD) bukan membela pihak yang mengajukan RUU tersebut karena dalam hal ini saya netral. Pemilihan kepala daerah secara langsung baru dimulai sejak tahun 2004 yang artinya sudah kita selenggarakan selama sepuluh tahun. Dalam hal ini ada beberapa poin yang mungkin menjadi kelebihan dari pelaksanaan pilkada secara langsung di Indonesia yang berhasil saya himpun selama menjadi pemilih di daerah saya:

A.Pelaksanaan pilkada secara langsung membuat masyarakat terlibat aktif dalam demokrasi.

Saya masih duduk di kelas 3 sekolah menengah atas saat saya melakukan “pencoblosan” untuk memilih gubernur di daerah saya dan pengalaman itu sangat exciting. Bahkan kalau boleh jujur teman-teman saya untuk saat ini masih dengan perasaan bangga meng-upload foto jari kelingking sebelah kirinya yang dilapisi tinta biru sebagai tanda mereka ikut serta dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia padahal hal serupa bukan pengalaman pertama  bagi mereka. Nah, keikutsertaan secara aktif merupakan sisi positif pelaksanaan pilkada langsung.

B.Pelaksanaan pilkada secara langsung menggerakkan sektor riil.

Harus diakui banyak masyarakat yang diuntungkan dengan pelaksanaan pilkada secara langsung seperti  pengusaha dan pekerja usaha sablon dan spanduk, pengusaha aksesoris hiasan calon kepala daerah seperti kaos dan bendera bahkan banyak penyanyi dangdut kampung sampai ibu kota yang juga “kecipratan” rezeki saat calon kepala daerah melakukan kampanye di daerahnya. Satu lagi yang juga diuntungkan dengan pilkada langsung adalah lembaga-lembaga survei yang biasanya dibayar oleh salah satu perusahaan televisi swasta untuk menampilkan quick count hasil pilkada di suatu daerah.

C.Pengawasan publik secara langsung.

Publik ikut serta memilih artinya publik juga ikut serta mengawasi pelaksanaan pilkada itu sendiri, adanya saksi si tiap-tiap TPS adalah bukti bahwa publik ikut mengawasi.

D.Publik memilih langsung pemimpinnya berarti eksekutif memisahkan diri dari pengaruh legislatif yang berlebihan.

Pemimpin yang lahir dari pemilihan secara langsung memiliki legitimasi yang baik di mata masyarakat dan membuat pelaksanaan pemerintahan nantinya diharapkan dapat dilaksanakan tanpa intervensi pihak legislatif di daerah.

Pelaksanaan pilkada secara langsung memang sangat menguntungkan bila kita melihat beberapa poin positif diatas, bahkan saya sangat menikmati memilih secara langsung kepala daerah dan menunggu hasil penghitungan suaranya di TPS bahkan di televisi sampai saya juga mulai memikirkan beberapa efek yang timbul jika kita terus-terusan melakukan pilkada secara langsung. Belajar dari beberapa pelaksanaan pilkada langsung di Indonesia ada beberapa hal yang seharusnya anda ketahui saat daerah melaksanakan pilkada secara langsung:

A.High Cost

Sudah merupakan alasan klasik pihak-pihak yang mengajukan RUU pilkada untuk mengubah sistem pelaksanaan pilkada menjadi sistem yang hemat biaya, melalui perantara anggota DPRD. Menjadi alasan kuat saya juga untuk kembali bertanya apakah sudah waktunya kita memilih kepala daerah secara langsung. Indonesia adalah negara berkembang yang artinya negara yang sangat membutuhkan dana untuk melaksanakan pembangunan. Infrastruktur kesehatan, pendidikan dan lain-lain  harus lebih diprioritaskan ketimbang euforia memilih langsung kepala daerah. Mungkin alasan yang saya gunakan sangat kekanakan karena demokrasi itu mahal dan sudah seharusnya dilaksanakan secara menyeluruh tak hanya untuk memilih anggota dewan maupun presiden. Tapi jika yang keluar adalah angka Rp 30.000.000.000.000 atau tiga puluh triliun rupiah dalam lima tahun pelaksanaan pilkada secara langsung di Indonesia maka akan beda ceritanya. Di saat ada orang miskin di beberapa daerah belum bisa menikmati pembangunan seperti rumah sakit dan sekolah, di daerahnya diadakan pemilihan kepala daerah yang memakan biaya setidaknya dengan dana tersebut dapat membangun dua rumah sakit dan sekolah dengan alasan penegakan demokrasi, apakah itu tidak mengusik kita? Belum lagi ceritanya jika melakukan pilkada dua putaran bahkan karena beberapa kasus kecurangan pilkada harus diulang, bisa bayangkan berapa dana yang habis hanya untuk menegakkan demokrasi?

B.High Cost Campaign

Bukan hanya daerah dan negara yang harus mengeluarkan dana besar untuk pelaksanaan pilkada langsung namun calon kepala daerah mau tidak mau juga harus merogoh dompet sangat dalam. Sangat dalam bahkan terkesan sangat tidak rasional. Calon kepala daerah bisa saja menjual semua aset yang dimiliki bahkan meminjam uang untuk biaya kampanye, hal ini sebenarnya bukan cerita baru karena acara-acara kampanye di Indonesia terutama di daerah belumlah selevel dengan acara kampanye Barrack Obama yang kita lihat beberapa tahun lalu di televisi. Beliau hanya menyampaikan pidato politik tanpa harus meng-imingi  hadirin dengan hiburan musik dangdut dan artis ibu kota untuk datang menghadiri acara kampanyenya. Kualitas kampanye di Indonesia juga harusnya dapat sorotan karena kebanyakan tidak berisi pendidikan politik dan hanya acara joget bersama penyanyi dangdut dan diakhiri dengan pemberian bahan sembako dan uang. Sangat berbeda jauh dengan acara kampanye di negara maju yang demokrasinya sudah sangat dewasa.

C.Sangat rawan kecurangan

Kalau poin yang satu ini silakan dilihat di beberapa media cetak maupun media elektronik, bagaimana kasus kecurangan pilkada hampir ada di setiap daerah pelaksana pilkada langsung. Laporan kecurangan sudah sangat menumpuk di Mahkamah Konstitusi apakah itu yang bersifat kecurangan dari calon kepala daerah maupun kecurangan dari beberapa tim suksesnya. Kecurangan yang paling intens dilakukan dalam pilkada langsung adalah money politic. Calon kepala daerah ataupun tim suksesnya memberikan uang kepada calon pemilih untuk memilih dirinya atau calon yang diusungnya nominal yang terkecil bisa mencapai Rp 20.000 sampai Rp 100.000. Apakah dengan pilkada secara tidak langsung dapat menghilangkan praktik money politic? Tidak! Tentu saja praktik itu pasti akan tetap dilaksanakan namun setidaknya pelacakan kasus money politic dalam pilkada tidak langsung lebih mudah dilakukan daripada pilkada yang dilakukan secara langsung. Kenapa? Karena penyelidikan aliran dana hanya terbatas kepada anggota DPRD yang mendukung si calon jadi cenderung mudah jika KPK dan aparat hukum lainnya ingin melakukan pemeriksaan. Karena penanganan masalah korupsi tidak bisa hanya mengandalkan perbaikan sistem tetapi juga perbaikan moral bangsa dan tindakan represif seperti meningkatkan hukuman bagi para koruptor dan supremasi hukum jauh lebih efektif dilakukan. Bahkan dengan pelaksanaan pilkada secara langsung yang katanya sangat demokratis dan diawasi langsung oleh publik masih kita dapati banyak kepala-kepala daerah yang korup karena memang masalah korupsi adalah hal yang bahkan negara Tiongkok saja harus menerapkan hukuman mati untuk menekannya. Karena bisa saja kepala daerah yang korup akibat mahalnya biaya kampanye saat pencalonan dia dahulu.

D.Rawan Konflik

Contoh yang sangat mudah adalah pemilihan calon presiden yang baru saja kita lewati. Pemilihan secara langsung akan meningkatkan fanatisme terhadap salah satu calon yang memungkinkan terjadinya konflik di masyarakat. Tidak heran terjadinya banyak pengrusakan bahkan bentrokan kepada pendukung salah satu calon kepala daerah bahkan teman-teman di media sosial tidak ketinggalan dengan menyebarkan beberapa kelemahan salah satu calon untuk melampiaskan rasa fanatismenya kepada calon lainnya yang pada akhirnya juga menimbulkan konflik. Meskipun hanya dilakukan di media sosial, namun tetap saja ironi melihat perpecahan bangsa hanya karena merasa calon yang didukung lebih baik dari calon yang didukung pihak lain. Dengan pemilihan secara tidak langsung, potensi konflik di masyarakat bisa sangat ditekan. Konflik hanya mungkin terjadi di kalangan anggota DPRD, kita sebagai masyarakat hanya menilai bagaimana kualitas pilihan anggota DPRD tersebut. Jika baik bagi pembangunan dan perkembangan daerah maka pilihlah anggota DPRD yang sama di Pemilu mendatang. Jika tidak, pilih yang lainnya. It is simple like that

E.Situasi yang kurang akur antara legislatif dan eksekutif.

Sistem pemerintahan di Indonesia bukanlah presidential sepenuhnya namun bukan juga parlementer penuh. Jika dikatakan kita adalah pengguna sistem presidential, mengapa kita juga menganut sistem multi partai yang hanya ada di sistem parlementer. Oleh sebab itu eksekutif yang baik di Indonesia adalah eksekutif yang punya dukungan besar di legislatif. Mengapa? Karena kebijakan eksekutif yang walaupun baik tidak akan bisa disahkan jika legislatif tidak menyetujuinya. Ironi? Memang beginilah yang berlaku di Indonesia. Pemerintahan eksekutif yang tidak mendapat dukungan legislatif akan berjalan dengan tidak stabil dan akhirnya merugikan masyarakat juga. Untuk itu pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD dapat melenggangkan pemerintahan di daerah.

Setidaknya poin-poin diatas adalah pandangan saya mengenai beberapa kelemahan yang dimiliki jika pilkada dilakukan secara langsung di daerah-daerah di Indonesia. Saya mengetahui sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui anggota DPRD juga memiliki kelemahan namun setidaknya pilkada tidak langsung bisa menjadi jalan menuju demokrasi Indonesia yang lebih dewasa sehingga pada saatnya nanti Indonesia dapat memilih kepala daerah secara langsung tanpa adanya permasalahan pembangunan infrastruktur maupun kecurangan dan konflik di tubuh masyarakat kita. Bukan kesalahan jika melakukan pilkada secara langsung namun belum saatnya dilakukan di saat negara kita lebih membutuhkan pembangunan ketimbang harus secara paksa menerima model demokrasi dari negara maju yang belum tentu compatible digunakan di negara kita saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun